Kritis itu Haram, Tugas Mahasiswa Itu Lulus Secepatnya

248 0

“Saya tidak tahu harus berbuat apa, teman-teman saya juga tidak melakukan apa-apa” . Jawaban ini sering didengar bahkan jadi jawaban pamungkas ketika kita dihadapkan pada masalah-masalah di masyarakat. 

Ada kebimbangan, kebingungan dan keengganan di balik jawaban tersebut. Bimbang karena merasa tidak memiliki kemampuan, kapasitas untuk terlibat. Mengharapkan orang lain saja yang melakukannya. “Ada orang yang lebih berkompeten untuk itu,” itu jawaban yang sering kita dengar.  Bingung dan enggan terlibat karena toh, orang-orang terdekat, komunitas, kelompok dan organisasinya tidak melakukan apa-apa. Memilih tidak ikut bertindak , karena berada dalam lingkungan yang pasif.

Baca juga : Banyak hal baik di balik tidak lulus kuliah tepat waktu

Apakah betul, generasi muda yang disebut “generasi milenial” tidak memiliki kapasitas? Nera Academia dalam pengalaman perjumpaan dengan komunitas orang muda (sebagian besar mahasiswa) justru menemukan hal yang sebaliknya. Buktinya, dalam kegiatan diskusi seperti Nera Talk yang kami adakan hampir 70% pesertanya adalah mahasiswa. Mereka cukup antusias dan berani mengemukakan pendapatnya.

“Sebagai milenial, menemukan tujuan saja tak cukup. Tantangannya untuk generasi ini adalah menciptakan dunia di mana semua orang memiliki tujuan,” Mark Zuckerberg

Akses pendidikan, informasi dan keliahian generasi milenial menggunakan teknologi informasi, juga menjadi potensi tersembunyi. Banyak diantara generasi muda yang aktif mengutarakan pendapatnya di media sosial, mengikuti diskusi di group facebook dan WAG (whatsapp group). Jumlah orang muda yang terlibat dalam isu-su sosial kemasyarakatan di media sosial  tidaklah sedikit. Ini adalah modal yang baik untuk pengembangan orang muda.

Namun, sayangnya ketertarikan orang muda dalam isu sosial kemasyarakatan terbatas pada smartphone dan virtual interaction saja. Mereka kesulitan menuangkan gagasan dalam tindakan dan interaksi langsung. Ada ketakutan untuk aksi dan berhadapan langsung dengan masalah. Lingkungan kampus juga ternyata tidak memberikan ruang bagi mereka untuk berlatih. Beberapa mahasiswa yang kami temui, menyatakan kesulitanmengembangan diri karena kampusnya alergi dengan budaya kritis dan diskusi masalah sosial, politik dan kemasyarakatan.

Baca juga : Apakah Tujuan Kita Belajar Filsafat ?

Kampus yang tidak memberikan ruang berpikir kritis, menjadikan mahasiswa  kelompok eksklusif yang nyaman dalam pagar dan terasing dari dinamika dan diskursus sosial kemasyarakatan. Bahkan, kritis itu itu dianggap haram. “Tugas Mahasiswa itu kuliah, lulus cepat dan kerja ” jadi nasehat pamungkas bagi mahasiswa. Namun tentu masih ada kampus yang terbuka dan memfasilitasi ruang kritis.

Menurut seorang teman yang masih mahasiwa, kegiatan sosial kemasyarakatan seperti diskusi, pelatihan bahkan seminar lintas kepercayaan, lingkungan, gender, budaya  dan sosial politik yang diikutinya di luar kampus  memiliki point kegiatan kemahasiswaan (syarat kelulusan) kecil dan kadang tidak mendapat point, lain hal  jika dibandingkan dengan menjaga stand pameran kampus di mall-mall atau kegiatan kerohanian yang memiliki point yang lebih tinggi.<

Dibatasinya ruang kritis di kampus-kampus, tentu bisa disikapi dengan menyiapkan ekosistem berpikir kritis di luar kampus. Ekosistem tersebut bertujuan mengisi gap budaya kritis yang tidak terwadahi di kampus.  Rantai proses ini dapat digarap secara kolaboratif oleh kelompok, komunitas dan lembaga sosial kemasyarakatan  yang memiliki keprihatinan yang sama pada generasi muda. Dengan demikian, masyarakat juga ikut memberikan kontribusi agar  generasi muda mampu menemukan tujuan, mewujudkan potensi dan kehendak untuk terlibat bersama masyarakat.

*Ditulis untuk pengantar diskusi Sekolah Ansos 2017


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *