Masa lalu sebenarnya tak pernah berlalu. Ia tetap kita denyutkan, deraskan, berjalin-kelindan dengan masa sekarang. Berbagai seni yang orang pahami sebagai seni tradisional sebenarnya adalah sebentuk cara orang-orang nusantara dalam mengenang masa lalunya, meski terkadang hal itu disampaikan dengan berbagai perlambang.
Beberapa hari yang lalu tengah ramai orang membicarakan potensi gempa megathrust berskala 8,8 SR di mana dapat mengakibatkan tsunami setinggi 20 meter yang dinyatakan oleh seorang ahli tsunami dari BPPT. Tak main-main, pakar geologi tersebut mengatakannya bukan sebagai prediksi, tapi potensi. Kesimpulan ini serius bahwa gempa megathrust dan tsunami tersebut merupakan sebuah kepastian. Hal ini berkaitan dengan terdapatnya segmen-segmen megathrust di sepanjang selatan Jawa.
Dalam catatan BNPB sejak 1629-2018 terdapat lebih dari 12.500 gempa di atas 5 SR, 1000 di atas 6 SR, 230 di atas 7 SR, dan 167 tsunami. Data ini menunjukkan bahwa bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, adalah hal yang akrab dengan orang-orang nusantara. Akhir-akhir ini saja BNPB menyatakan bahwa gempa bumi juga memiliki siklus—sesuatu yang baru dalam ilmu geologi di Indonesia. Tapi secara kultural, lewat berbagai perlambang, para leluhur sebenarnya sudah mewariskan apa yang dikenal sebagai “jangka” atau pola kala (zaman).
Di sini saya tak akan membahas potensi gempa dan tsunami dari ilmu geologi. Tapi bahwa peristiwa gempa dan tsunami yang kerap terjadi memang ada dalam pertunjukan wayang purwa. Goncangan kosmologis dan kultural itu justru menjadi pakem atau aturan bakunya. Struktur dramatik wayang purwa sejatinya dapat pula dibaca sebagai semacam jangka, baik jangkanya manusia maupun alam. Pathet, selain secara teknis befungsi sebagai babak dalam sebuah drama dan transposisi pada skala nada (titi laras) musik Jawa tradisional juga berfungsi sebagai jangkanya manusia, baik secara individual maupun sosial-kultural.
Janturan ataupun pocapan (narasi) mengenai negara dan goncangan kosmologis selalu diulang dalam pertunjukkan wayang purwa. Repetisi ini seperti merupakan rekaman atas apa yang pernah terjadi di masa silam. Selalu saja struktur narasi dalam janturan ataupun pocapan itu berangkat dari pathet nem yang menggambarkan keadaan sebuah negara yang makmur, tata titi tentrem karta raharja.
Deskripsi tentang alam pada babak ini sangatlah menawan. Secara dramatik pathet nem ditandai oleh adegan yang menggambaran keadaan kerajaan yang makmur. Di sini alam dan manusia seperti sepasang karib yang hidup bersama secara tertib. Manusia tak hidup dengan alam, tapi bersama alam. Jagad cilik (manusia) dan jagad gedhe (alam) masih wengku-winengku, hidup secara harmonis dan saling mendukung. Hal ini digambarkan sebagai kondisi yang gemah ripah loh jinawi. Bahkan saking karibnya relasi antara manusia dan alam yang berujung kemakmuran tersebut dilukiskan sebagai toya tumumpang tulus kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas (air yang mudah didapatkan dan tanaman yang mudah ditanam, murah segala harga).
Beringsut ke pathet sanga kita disuguhi adegan yang carut-marut. Di sini pranata manusia dan pranata alam (pranata mangsa) tak lagi berjalan secara tertib, seolah ada kausalitas di antara keduanya. Segala tata nilai menjadi terbolak-balik dan ruwet. Subasita (etiket) tak lagi berlangsung seperti pada pathet nem. Hubungan antara kawula dan bendara digambarkan berlangsung secara cair atau bahkan—pada kasus perang begal (gagrak Jogja) atau perang kembang (gagrak Solo) di mana ksatria berperangai halus dihadang oleh buta cakil—kurangajar. Pathet sanga ditandai dengan adegan gara-gara, narasi yang dehumanistik—“pasar ilang kumandhange, kali ilang kedhunge, wanodya ilang wirange” (pasar kehilangan gema, sungai kehilangan sumbernya, perempuan kehilangan rasa malunya)—yang berbarengan dengan narasi tentang alam yang menggetarkan: “Gara-gara, apa ta pratandhane gara-gara? Bumi gonjang-ganjing, lindhu sedina ping pitu, obahing jagad prakempa, kopat-kapit pethite Sang Hyang Anantaboga, samoda kadya kinocak.”
Berlanjut dengan jineman perihal bocah bajang yang menggembalakan angin dan menguras samudera di mana peliharaannya adalah kerbau dhungkul (lambang kebodohan) dan sapi gumarang (lambang kepintaran). Karena kondisi rusaknya tertib humanis sekaligus kosmologis inilah saya menafsirkan pathet sanga sebagai pathet yang berkaitan dengan “0” (songo, kosong) atau nihilisme, vakumnya nilai-nilai sekaligus rusaknya tertib kosmologis (mahapralaya).
Tapi dalam lukisan tentang bocah bajang itu, para pujangga menyisakan sedikit harapan, sapi gumarang, di mana sang ksatria terpilih selalu diembani dan diingatkan dengan gaya yang tak kaku oleh Semar dan anak-anaknya untuk senantiasa tabarukan dengan sesepuh (adegan kapanditan). Pada pathet ini iringan musik lazimnya penuh dengan nuansa hiburan yang acap gecul (jenaka).
Menginjak pathet manyura, yang berarti merak dan parak yang berkaitan dengan pagi. Secara dramatik, babak ini adalah penentuan akhir cerita di mana kebaikan mengalahkan kejahatan. Tapi saya kira pertunjukan wayang purwa tak pernah sesederhana itu. Kita dapat merasakan laya iringan musik yang seseg, bertempo cepat dan bermain di nada-nada yang tinggi. Dan adegan pembunuhan selalu terjadi pada pathet ini—semisal Gathotkaca yang memelintir kepala dan menggigit leher laiknya raksasa atau Wrekudara yang selalu nujah (menghunjamkan kuku pancanaka ke tubuh lawan). Secara konsepsi nuansa pagi selalu berasosiasi dengan semangat dan keriangan. Tapi tidak pada wayang purwa, justru kemenangan yang diraih selalu berbayang dengan kematian, tak pernah kita rasakan adanya suasana yang berakhir bahagia.
Pertunjukan wayang purwa klasik selalu memiliki struktur dramatik seperti di atas, tak peduli di mana pun, dengan dalang siapa pun, dan lakon apapun. Saya kira hal ini berkaitan dengan rekaman atas masa silam yang bertujuan untuk mengingatkan apa yang saya sebut sebagai pola kala (jangka). Pada kasus struktur dramatik pertunjukan wayang purwa hal ini berkaitan dengan krisis humanisme sekaligus goncangan kosmologis—lindhu sedina ping pitu (gempa) dan samudra kadya kinocak (tsunami). Kejelian membaca isyarah seolah menjadi tuntutan para leluhur nusantara pada anak-anakya.
Dalam khazanah budaya Jawa memang dikenal yang namanya ngelmu titen, sebuah kemampuan untuk mengamati pola yang berulang. Sebab dalam konsepsi Jawa waktu dipahami sebagai sebentuk siklus, melingkar atau sirkular, bukan linear. Seperti yang dipahami oleh Ronggawarsita (“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, http://www.berdikarionline.com), untuk lepas dari jebakan waktu sirkular tersebut diperlukan apa yang disebutnya sebagai “eling lan waspada.”
Kisah tentang Bathara Kala dalam lakon Murwakala merupakan gambaran orang-orang yang lalai dan akhirnya menjadi mangsa sang kala. Bathara Kala pada dasarnya adalah personifikasi waktu yang hanya bisa dirasakan akibatnya: kesandhung, kesrimpet, kebentus, kepala ataupun ketatu. Atau pendek kata, sukerta (sial) yang sudah semestinya diruwat. Ruwatan pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk melaras kembali konsepsi waktu tersebut. Jadi, saya kira, sebenarnya bukan pada kemujaraban ritus doanya, meskipun tak tertutup kemungkinan hal ini memang bermanfaat, tapi lebih pada si penandang sukerta itu sendiri untuk bagaimana kemudian menyikapi jebakan-jebakan kala.
Ruwatan Murwakala bagaimana pun hanyalah sarana, bukan menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Melaras waktu berarti kembali niteni berbagai pola yang berulang, akibat atau efeknya ketika memilih atau memutuskan sesuatu. Tetap pesan besarnya di sini bahwa pengalaman adalah sang guru terbaik.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan