Communi(cati)on: Menimbang Ulang Pluralisme Dan Temu-Wicara Antar-Agama

214 0

Pluralisme itu tak ada.  Andaikata ada, hanyalah sejenis eksklusivisme yang mekar tak tersadari. Kita mengenal figur-figur semacam Sayyed Hossein Nasr, Paul Knitter, Rita Gross, dan sebagainya. Mereka semua lazim disebut sebagai para pluralis. Tapi saya pikir itu bohong, sebuah pelabelan yang gegabah.

 

Seumpama mau menengok, pluralisme dan agenda-agenda yang mereka bawa sebenarnya saling mengeksklusikan satu sama lain—terlebih bagi yang berasal dari dua latar tradisi keagamaan yang berbeda secara radikal: di satu pihak pluralisme non-Abrahamik yang di antaranya dinahkodai oleh Gross dan di lain pihak pluralisme Abrahamik sebagaimana yang digawangi oleh Knitter dan seterusnya.

Esai ini terbabar untuk membongkar “ketakakuran” laten tersebut. Di samping itu esai ini—untuk menepis kesan telah melakukan pembongkaran yang tak bertanggungjawab—akan mencoba pula mencari cara baca beda atau alternatif lain dalam memaknai dan bersikap terhadap yang-Lain: orang yang tak sama dengan kita.

Pluralisme Eksklusif

Secara sederhana, pluralisme keagamaan dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan dan sikap yang menyatakan bahwa keberagaman agama adalah sesuatu yang positif dan konstruktif. Dalam memaknai eksistensi yang-Lain, pluralisme berkeyakinan bahwa mereka memiliki status dan validitas yang sama dengan kita. Tapi tak cukup berhenti di sini, pluralisme juga berhasrat melampaui relativisme keagamaan. Karena itulah para pluralis mengidealkan terjadinya temu-wicara mutual yang dapat menjembatani perbedaan—sekaligus untuk mencari common-ground atau merumuskan kesamaan dalam keberlainan.

Namun demikian, asumsi dan obsesi semacam itu tampaknya hanya akan tereja di surga. Karena faktanya sama sekali tak ada. Alih-alih mengakomodasi yang-Lain secara jejeg sebagaimana yang diidealkan, teks-teks rajutan para pluralis justru berbuat sebaliknya. Kita tentu ingat Rita Gross, juru wicara Buddhisme di Barat itu. Dalam sepotong teksnya, “Excuse me, but What’s the question Isn’t Religious Diversity Normal?,” dalam Paul Knitter, ed., The Myth of Religious Superiority: Multi Faiths Explorations Religious Pluralism, Maryknoll: Orbis Books, 2005, ia berujar demikian:

From any perspective whatsoever I contend that discussions of religious pluralism should begin with religious diversity as a fact, as reality, as something we must live with. That means the primary question is how to best live with religious diversity, rather where it came from, why it persists, whether or not it should exist, or even whether there is some convergence or underlying unity to religions. Of course, this is a standard Buddhist approach to things.

Tak ayal lagi, dari teks itu kita bisa tahu bahwa Gross menampik peran teologi sebagai piranti awal dalam formulasisasi pluralisme keagamaan. Dengan hal itu, sekaligus ia juga menolak perspektif teologis apapun terhadap fenomena diversitas agama. Maka temu-wicara antar-agama yang mesti ditata, dalam hemat Gross, adalah temu-wicara yang tak akan sedikit pun menyinggung masalah ataupun doktrin-doktrin teologis-metafisis. Dengan kata lain, dialog antar-agama cukup dipusatkan pada ranah etika saja. Lebih jauh, Gross tak hanya mengatakan bahwa pendekatan teologis semacam itu sebagai kesia-siaan belaka, tapi juga sebuah kekhilafan.

It seems to me to be a mistake to begin with questions about whether there is a universal religious truth, the truth of various religions, their partial truth in relation to mine, or how  there could be more than one true religion.”

Tak pelak sebuah persoalan gegas meretas di sini. Seandainya pluralisme Gross ini kita afirmasi bulat-bulat, apakah kiranya konsekuensi paling kelam yang mungkin terjadi? Bukankah dengan melempar keluar persoalan teologis-metafisis dari pusat percaturan Gross telah pula menegasikan agama-agama Abrahamik? Terang sekali jawabannya adalah ya, agama Abrahamik tak urung akan tersisih—atau kalau tidak, pasti tereduksi.

Bagaimanapun absurdnya, teologi menduduki posisi sentral dalam lingkungan agama-agama Abrahamik. Itulah kenapa dalam Islam teologi atau kalam dikategorikan sebagai ushuluddin: pokok agama. Jantung ajaran Islam terletak pada perkara tauhid. Bidang ataupun aktivitas kebudayaan apapun idealnya harus berhulu dan berhilir pada tauhid ini. Dan tak ayal lagi, perkara tauhid adalah perkara teologis-metafisis.

Demikian pula Katolik dan Protestan, saya kira juga setali tiga uang. Teologi sudah pasti duduk di pusat tahta ajaran-ajaran Jesus. Itulah kenapa untuk menyikapi perbedaan atau kehadiran yang-Lain, pemikir-pemikir Kristen perlu mencari ataupun merumuskan terlebih dahulu legitimasi teologisnya. Upaya semacam ini kumandang dengan nama “teologi agama-agama,” sebuah genre teologi yang dibiakkan oleh Panikkar, Knitter, dan seterusnya.

Sama halnya dengan Muhammad Abduh ataupun Nurcholish Madjid dalam dunia Islam. Demi tuntutan zaman dan konfigurasi sosial ataupun batas budaya yang semakin mencair dan longgar, mereka perlu menyikapinya dengan terlebih dahulu menyisir lembar-lembar al-Qur’an untuk menemukan legitimasi teologisnya. Artinya, mereka perlu terlebih dahulu bermetafisika tentang yang-Lain sebelum beretika pada yang-Lain. Maka pada titik ini dapat dimengerti kenapa pluralisme Abrahamik cenderung kental dengan nuansa teologis-metafisis. Telisik saja gagasan-gagasan yang dianyam oleh John Hick, Nasr ataupun Knitter. Tak aneh pula untuk dinyatakan di sini bahwa teologi sangat identik dengan agama-agama Abrahamik. Bahkan saya pikir, saking identiknya, apa-apa yang religius bagi nalar Abrahamik adalah apa-apa yang teologis. Itu artinya, parameter religiusitas segala sesuatu adalah jika ada sengkarut teologis di dalamnya.

Tak jauh berbeda dengan perumusan konsep pluralisme keagamaan, dalam hal menyulam format temu-wicara, kalangan agamawan Abrahamik juga pekat dengan citra teologis—untuk tak mengatakannya sebagai bias. Paul Knitter (ibid.), sosok agamawan yang memiliki kegetolan tanpa tara dalam mempropagandakan pluralisme itu, mengatakan bahwa karena tak ada agama yang lebih superior dibanding agama lainnya, dan karena semuanya saling berkoeksistensi, maka sudah sepatutnya seandainya mereka saling berbincang dalam sebuah dialog yang mutual.

Pluralist do not want simply to affirm the diversity and the value of many religions; the pluralist agenda is also the attempt to bring these many and different religions into conversation, all those involved have to feel that what they want to bring to the conversation is something that everyone else can and perhaps even must listen to and potentially learn from. By learning from others, dialogue partners do not need to convert to the other religion, but their own religious self-understanding and practice will be different, deepened, maybe even transformed for having learned something from the other. Without participants bringing challenging truth-claims to the conversation, dialogue becomes only clarifying exchange of information about each other (valuable, certainly, but not yet dialogue).

Mirip dengan koleganya, Schmidt-Leukel juga menebar kata:

[P]luralism does not imply the relativistic feeling that all religions or indeed all worldviews or value systems must be equally good (or bad), because if it did, there would be no way of making any universal judgment at all. In contrast, here the pluralist option is precisely understood as a value judgment on other religions—a judgment that acknowledges theologically their equal value as ways of salvation.

Nukilan di atas saya rasa sangat Abrahamik dan logosentrik. Logos adalah sabda, kata ataupun kalam. Inilah yang membedakan agama Abrahamik dengan yang non-Abrahamik. Bagi nalar Abrahamik, dialog atau perbincangan religius dirasa perlu untuk tak mengatakannya penting—bukankah Tuhan juga “berbincang”?

Siapa pun yang paham sistem nalar Abrahamik pasti akan melihat bahwa kalimat pungkasan Knitter di atas sangat provokatif sekaligus bias. Knitter, dan juga Schmidt-Leukel tentunya, menghendaki temu-wicara antar-agama untuk tak menjadi sekedar arena tukar kabar. Mereka ingin lebih: sebagai ajang perang argumentasi dan judgmental rationality. Tentu saja hal ini tak mengherankan. Sebab agama-agama Abrahamik memiliki teologi, memiliki logos tentang Tuhan, dan memiliki Tuhan yang berlogos. Artinya, berbincang memang sudah menjadi konsekuensi logis—atau justru beban teologis?—atas kepemilikan konsep Tuhan yang berlogos. Dan untuk itu, para pluralis Abrahamik telah dibekali dengan retorika dan logika (mantiq). Tak sebagaimana Buddhisme—yang cenderung sedikit bicara, sadar akan nisbinya kata, dan setia pada bentuk religiusitas yang tak riuh—agama-agama Abrahamik cenderung ingin religiusitas mereka untuk go public. Mereka sama sekali tak bisa diam, meskipun itu tentang Tuhan. Itulah kenapa mereka berani menabuh genderang perang bagi perdebatan dan judgmental rationality yang, menurut mereka, laik diambil seandainya tak ingin terperosok ke dalam jurang relativisme.

Namun demikian, di sini tumbuh pula sebuah sengketa. Andaikata pluralisme dan temu-wicara gaya Abrahamik tersebut mutlak diangguki, bukankah ujungnya juga sama saja? Bukankah eksklusi kini akan berbalik arah? Jelas apabila demikian kasusnya, agama-agama non-Abrahamik, khususnya Buddhisme, akan ternafikan dan terdepak dari gelanggang permainan. Sebab sebagaimana yang jamak diketahui, Buddhisme tak sedikit pun karib dengan yang namanya teologi dan metafisika. Jangankan theo-logi, theo ini pun tak bisa kita gamblang katakan ada dalam diskursus Buddhisme. Terhadap perkara-perkara metafisis, Buddha Gautama hanya punya satu eksplanasi metaforis: “Put out like a candle.” Dan kiranya sulit di sini untuk tak menangkap kelebat imaji “kekosongan” dari sekedar imaji “ketidakdapatdibayangkan.”

Oleh karena itu, menjadi teranglah kenapa tabiat non-teologis Buddhisme begitu pekat mewarnai pluralisme keagamaannya. Seandainya Gross menampik peran teologi dalam mendekati keberagaman agama, hal ini semata-mata dikarenakan ia adalah seorang penganut Buddhisme, agama yang memang kondang dengan karakternya yang non-teologis. Demikian pula dengan kaum pluralis dari lingkaran Abrahamik, tendensi mereka untuk bersikap teologis dalam memperbincangkan fenomena keberagaman agama dikarenakan agama yang mereka anut memang berkarakter seperti itu. Jadi patut diujarkan bahwa sebenarnya pluralisme sekedar eksklusivisme yang mekar tanpa sadar dan yang, bagaimanapun, tak mungkin bersih dari noda paradigma yang dipakai.

Mutualisme ataupun universalitas yang digadang-gadang mereka sebenarnya hanyalah mimpi, untuk tak mengatakannya sekedar sisa-sisa ambisi politis modernisme. Dan pada titik ini, tampaknya memang tak ada jalan tengah yang benar-benar jejeg. Sendainya pun tercipta suatu temu-wicara sebagaimana yang diangankan para pluralis, sudah tentu pertanyaan yang patut dimuntahkan kali pertama adalah—kalau tak ada dominasi dan represi tentunya—: aturan main siapa yang bakal dijajal?

Bersambung :  Communi(cati)on: Sebuah Momen Penyingkapan

Oleh :  Heru Harjo Hutomo, penulis, peneliti lepas dan perupa, penulis Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Brai, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011. Email : tebusauyun@gmail.com


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *