Beberapa minggu lalu, seorang kawan meminta saya untuk menjadi pembedah buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia”. Kawan saya ini berkata bahwa beberapa kawan yang menulis dan menginisiasi buku ini adalah kawan-kawan jaringan kami juga.
Kawan saya ini kemudian bercerita sedikit tentang latar belakang dan tujuan penulisan buku tersebut. Saya tertarik dan terkesan. Setelah sempat berpikir sejenak, saya akhirnya memutuskan untuk terlibat dalam upaya-upaya baik mereka ini.
Beberapa hari kemudian, buku ini sudah ada di atas meja saya, dikirim via kurir ojek online. Saya membuka bungkusnya dan dengan antusias, mulai membolak-balik halaman-halaman isinya. Saya memang mengenal secara personal beberapa orang penulis buku ini. Untuk merangsang minat baca terhadap buku ini, saya membaca satu kisah secara acak. Wah… saya terkesan karena buku ini ternyata menyapa dengan cerita-cerita pengalaman sebagai orang Indonesia beretnis Tionghoa atau orang-orang lain yang menjadi sahabat, rekan seperjuangan, atau bahkan pembela orang-orang etnis Tionghoa.
Cerita Para Pejuang
Banyak orang meremehkan cerita. Bagi sebagian orang, cerita itu bercorak terlalu subjektif. Cerita itu minim objektivitas. Cerita yang subjektif seringkali terkesan melebih-lebihkan kenyataan atau lebay. Belum lagi, orang bisa saja berpendapat bahwa cerita-cerita yang ditulis itu adalah kebohongan atau kepalsuan karena tidak ada rujukan yang kuat. Singkat kata, cerita bukanlah sumber pengetahuan yang secara langsung merujuk pada kebenaran objektif dan ilmiah. Karena itu, haruslah diwaspadai supaya tidak terjerumus pada subjektivitas yang berlebihan.
Saya memutuskan untuk menunda dulu perdebatan seperti itu. Saya benar-benar ingin menikmati setiap cerita yang ditulis dalam buku ini. Saya percaya bahwa semua cerita ini dikisahkan secara jujur oleh para penulis. Saya juga percaya bahwa cerita memiliki nilai lebih daripada artikel atau tulisan ilmiah lainnya. Cerita juga lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Di dalam cerita, biasanya ada banyak nilai yang ditawarkan tanpa pernah merasa menggurui pembaca. Saya pun melihat bahwa para penulis menyadari benar kekuatan sebuah cerita.
Dalam cerita-cerita di buku ini, saya menemukan berbagai pengalaman perjumpaan pribadi yang mengubah keseluruhan diri. Ada juga pengalaman pergumulan eksistensi dan jati diri pribadi ataupun etnisitasnya dalam kebhinnekaan bangsa ini. Cerita-cerita ini bertumpu pada ingatan pribadi dan juga ingatan bersama. Ingatan-ingatan itu tentu menjadi milik pribadi dan tak tergantikan oleh orang lain (misal dikisahkan kembali oleh orang kedua, ketiga, dst.). Ingatan-ingatan itu dikisahkan kembali dalam tulisan, dan akhirnya saya dan sekian banyak orang menikmati setiap cerita yang tersaji itu. Cerita-cerita ini menyapa keseluruhan pribadi pembaca, tak hanya dimensi intelektualnya saja. Cerita-cerita ini mengajak saya larut dalam kegelisahan, duka, harapan, atau sukacita dalam kesesakan yang dialami para penulisnya.
Ada dua kumpulan cerita dalam buku ini. Cerita pertama adalah cerita yang ditulis oleh teman-teman dari etnis Tionghoa. Sedangkan, cerita kedua adalah cerita yang ditulis oleh teman-teman non-Tionghoa yang memiliki pengalaman-pengalaman bersama teman-teman Tionghoa. Setiap cerita penuh makna dan juga menawarkan poin-poin reflektif. Setiap cerita menjadi semacam autobiografi para pencerita karena bercorak pribadi, tak tergantikan.
Dalam cerita orang-orang Tionghoa, ada ingatan akan penderitaan. Ada yang dicaci sebagai Cino pelit, sipit, atau kafir. Ada yang dipalak, dikejar-kejar, didiskriminasi dalam segala segi kehidupan masyarakat. Ada yang merasakan pengalaman dicap tidak nasionalis, penghisap kekayaan negeri, penyebab kemiskinan pribumi. Ada pula yang mengalami krisis identitas dan inferior complex. Dari cerita-cerita mereka, saya bisa menangkap betapa tegar orang-orang etnis Tionghoa, betapa mereka mencintai negeri ini meskipun dipinggirkan secara menyeluruh, betapa kuat imaji keindonesiaan. Mereka tidak hanya sedang sambat atau bercerita tentang kepahitan yang mereka alami. Mereka berbagi proses memaknai ingatan akan penderitaan mereka menjadi kekuatan untuk tetap bertahan, bahkan melawan setiap kondisi yang tidak adil. Mereka adalah para pejuang kehidupan di negeri yang sudah merdeka lebih dari 72 tahun ini.
Sedangkan, dalam cerita-cerita orang-orang non-Tionghoa, ada juga ingatan akan transformasi diri atau kebangkitan pribadi. Ada yang dulu ikut-ikutan mencaci maki, malak, melempari, merusak tanpa tahu dan sadar apa yang dilakukan. Di Kemudian hari, mereka bertransformasi menjadi pribadi-pribadi baru, yakni: sahabat atau pembela setia. Transformasi mereka ini bukan tanpa penderitaan. Mereka pun dicaci oleh kalangannya sendiri. Mereka juga bergulat dengan berbagai klaim-klaim kebenaran yang mereka hidupi sejak kecil di lingkungan hidup mereka. Klaim-klaim itu jauh sekali dari kebenaran dan sepenuhnya meminggirkan etnis Tionghoa. Klaim-klaim kebenaran itu awalnya mereka terima begitu saja karena berasal dari kekuatan-kekuatan paling berpengaruh dalam hidup mereka, seperti: agama, budaya, masyarakat. Klaim-klaim itu berubah menjadi sentimen-sentimen irasional. Karena itu, saya bisa membayangkan perjuangan mereka bertransformasi. Mereka memaknai penderitaan mereka agar sampai pada transformasi diri itu. Mereka berjuang membersihkan kerak-kerak sentimen irasional yang berlapis-lapis. Mereka berubah menjadi orang-orang merdeka yang merayakan perbedaannya. Mereka pun setia berada di sisi saudari-saudaranya yang beretnis Tionghoa. Mereka adalah para pejuang yang memerdekakan diri mereka sendiri, dan berjuang memerdekakan banyak orang dari cara pandang yang sempit.
Cerita Mereka adalah Ceritaku Juga, dan Semoga Cerita Kita Bersama
Cerita-cerita itu mengajak saya untuk menggali ingatan saya sendiri, masuk ke dalam pengalaman waktu itu, dan merefleksikannya. Saya seorang katolik Indonesia beretnis Jawa. Dari TK sampai SMP, saya belajar di salah satu sekolah katolik di Surabaya. Meskipun saya bagian dari mayoritas katolik di sekolah itu, saya termasuk minoritas karena saya seorang Jawa. Saya masih ingat, dalam beberapa kesempatan di SMP, hanya saya dan guru saya yang bukan beretnis Tionghoa di kelas. Saya mempunyai teman-teman Tionghoa yang baik. Tapi, perkenankan kali ini, saya bercerita tentang teman-teman Tionghoa saya yang mbencekno soro. Saya tidak mengesampingkan teman-teman yang baik, tapi saya mengalami juga kok teman-teman Tionghoa yang menjengkelkan.
Sebagian dari teman-teman saya itu memang pelit, cuma mau berteman untuk kepentingan-kepentingannya, suka pamer kekayaan moyang mereka, sering membuat saya plonga-plongo mendengarkan kisah-kisah mereka berlibur ke luar negeri. Pernah juga suatu ketika, saya diundang teman yang merayakan ulang tahun di salah satu gerai restoran cepat saji. Pada waktu itu, saya satu-satunya anak yang tak tahu bagaimana cara dan di mana saya bisa menikmati saos untuk sepotong dada ayam krispi terbesar dan terlezat yang pernah saya makan waktu itu. Saya juga pernah datang ke sekolah dalam keadaan basah kuyub dan luar biasa marah bercampur malu. Pada waktu itu, hujan deras. Seperti biasa, saya naik sepeda ke sekolah. Tentu saja, saya sudah melindungi diri dengan jas hujan. Di dekat sekolah, tiba-tiba sebuah mobil melewati saya dengan laju. Mobil itu mencipratkan air genangan yang kotor ke tubuh saya. Dari balik kaca mobil sialan itu, saya melihat wajah teman saya yang Tionghoa mbencekno yang sengaja menengok kepada saya sambil meringis.
Saya juga mengalami banyak hal yang seharusnya tidak perlu saya alami jika saya tidak bersekolah di sekolah itu. Saya pernah dipalak anak-anak kampung dekat sekolah. Mereka hendak memalak saya karena mereka pikir saya hitachi. Mereka hanya memperhatikan seragam sekolah saya, bukan seluruh penampakan saya yang Jawa banget. Karena tak ada uang dan memang saya bukan hitachi, berkelahilah kami, saya lawan tiga orang. Di lingkup pertemanan saya di kampung sekitar rumah, saya pun dikenal sebagai pecinta dan sahabat Cina yang pelit, kaya, bos bapak-bapak kami yang jahat, dan orang-orang yang gak tau unggah-ungguh. Saya sungguh-sungguh merasa kerdil. Saya katolik dan bolone Cino.
Saya sering berontak terhadap situasi yang tidak menyenangkan itu. Saya pernah minta ke papa dan mama saya untuk menyekolahkan saya di sekolah negeri saja. Papa mama saya yang katolik banget tidak mengijinkan demi tugas mulia mendidik anak-anak mereka secara katolik. Saya tidak tega meminta-minta lagi karena saya tahu perjuangan papa saya untuk menyekolahkan saya di sana. Saya akhirnya memilih jalan bertahan, tapi tetap perlu cara. Di sekolah, saya terus berusaha menjadi yang terbaik, baik dalam bidang akademis maupun bidang-bidang non akademis. Saya memang tidak pernah bisa menjadi nomor satu, tapi saya merasa lebih baik daripada beberapa orang teman yang menjengkelkan. Saya aktif juga dalam kegiatan-kegiatan ekstra sehingga sering dipilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba-lomba. Saya bisa menyombongkan diri di hadapan teman-teman. Saya menikmati setiap teman yang menjengkelkan itu ketika mereka meminta bantuan saya dalam banyak hal. Akan tetapi, semuanya itu tidak membuat saya berdamai dengan situasi diri saya.
Lewat berbagai macam cara berjumpa dan berkegiatan bersama, lambat laun, saya pun akhirnya menemukan sahabat-sahabat yang tulus di antara teman-teman etnis Tionghoa. Kami bisa saling berbagi banyak hal. Saya bisa berempati pada kegelisahan, duka, dan harapan sebagian dari mereka.
Dari cerita mereka dan cerita saya sendiri, ada proses transformasi diri. Proses transformasi diri itu melalui berbagai jalan dan bisa terjadi sangat khas pada masing-masing pribadi. Kami (saya dan para penulis) mengalami pergumulan batin yang tidak menyenangkan. Kami mengalami benturan-benturan nilai di sana-sini. Ada rasa sakit yang mendalam, tangisan tanpa suara, kesunyian yang menyakitkan, keputusasaan, keterpilahan diri, kebimbangan, dan juga air mata. Pada titik ini, kami protes. Dengan kata lain, kami bertanya mengapa semua ini kami alami? Mengapa saya? Pertanyaan-pertanyaan mengapa ini ditujukan lebih-lebih pada diri sendiri ataupun pada Tuhan. Dari upaya-upaya mencari jawaban itulah, kami merajut harapan. Kami terlibat dalam tindakan-tindakan bersama.
Victor Frankl, seorang Yahudi, pemikir dan penyitas kamp konsentrasi era Hitler, menggambarkan bahwa proses manusia menghadapi penderitaan sangatlah unik. Masing-masing orang bisa berbeda-beda jalan. Meskipun demikian, untuk bisa bertransformasi, Ia menyebut dalam bukunya “Man’s Search Meaning”, ia bahwa ada tiga tahapan mental. Tahap pertama, orang mengalami “shock” karena ia mengalami suatu pengalaman yang tak pernah terpikirkan atau terimajinasikan sebelumnya. Ia diperlakukan tidak sebagai manusia. Pada situasi ini, muncul delusi penangguhan-penangguhan yang jelas-jelas merupakan ilusi yang tak pernah menjadi real. Tahap kedua, ia menjadi apatis sebagai bagian dari mekanisme pertahanan dirinya. Ia membiasakan diri dengan situasi tidak menyenangkan itu, dan berusaha bertahan secara mekanis, seperti robot, tanpa jiwa. Ketiga, muncul kesadaran diri bahwa meskipun ia berada dalam situasi yang telah merenggut kemanusiaannya, ia tetap bisa memilih hidup dan menghidupi kemerdekaannya. Ia memiliki kemerdekaan batin ketika tetap menyadari makna penting keseluruhan hidupnya yang terkait dengan pengalaman akan cinta, keluarga, atau imannya. Frankl kemudian menyimpulkan bahwa mahkota dari proses pengalaman itu adalah rasa sukacita tanpa ketakutan untuk terus berjuang mewujudkan harapan.
Tahap-tahap itu dilalui dalam jangka waktu dan kondisi-kondisi tertentu. Setelah melalui tahap-tahap itu, barulah orang bisa memiliki perspektif baru tentang dirinya, orang lain, dan dunianya. Ia tidak lagi terkungkung pada dunia keluhan dan ratapannya belaka. Ia mau berjumpa dengan orang lain. Ia mampu melihat pengalaman orang lain dengan kacamata baru. Ia lebih bisa mengerti penderitaan orang lain. Ia mau terlibat dalam kegelisahan, duka, kecemasan, dan harapan-harapan orang lain itu.
Dari Cerita ke Praksis Solidaritas
Secara ringkas, ingatan akan penderitaan yang diceritakan tadi menjadi titik tolak kebangkitan. Ingatan itu bersifat subversif atau berbahaya karena terus menggugat kenyamanan kita. Siapa pun yang membaca cerita-cerita itu dituntut untuk bertindak. Paling tidak, ia perlu menyinkronkan dengan cerita-ceritanya sendiri. Ia tidak pernah boleh membaca cerita-cerita itu lepas dari dirinya. Ia juga tidak hanya diajak berempati pada cerita-cerita pergumulan tersebut. Lebih jauh lagi, ia justru diajak menyatukan ceritanya dengan cerita para penulis. Ia kemudian diajak pula bertransformasi seperti yang dialami para penulis. Tentu saja, pembaca diajak masuk ke dalam pergumulan dan perjuangan para penulis. Pada tataran ini, bukan hanya sisi kognitif pembaca saja yang tersapa, tapi keseluruhan diri pribadinya secara utuh. Pikirannya tercerahkan. Perasaannya menyatu dengan para penulis. Kehendak untuk berubah secara merdeka dan terlibat dalam upaya perubahan selaras dengan gerak kehendak para penulis. Badannya pun digerakkan untuk mulai mewujudnyatakan niat dalam tindakan-tindakan konkret. Pendek kata, cerita para penulis memiliki daya menggugat kita semua, sidang para pembaca, untuk ikut serta dalam gerak perjuangan mereka di Indonesia tercinta ini.
Di samping itu, cerita-cerita ini benar-benar memaksa kita bertanya mengapa diskriminasi dan ketidakadilan ini bisa terjadi. Cerita-cerita ini menjadi pemantik untuk terus mencari tahu akar tindakan-tindakan diskrimatif. Cerita-cerita ini perlu dilanjutkan dengan upaya konkret memahami sejarah, sosio kultural, kebijakan politik, dsb. Di kalangan terbatas, sudah cukup banyak kajian-kajian historis, antropologis, sosiologis, bahkan politis terhadap orang etnis Tionghoa di Indonesia.
Karena itu, perlu ada perjumpaan-perjumpaan manusiawi antara orang non Tionghoa dan Tionghoa. Perjumpaan-perjumpaan itu menjadi semacam olah jiwa dan badan untuk memerdekakan diri dari segala prasangka dan kepentingan. Semua pihak harus keluar dari dirinya sendiri dan berjumpa dengan orang lain yang berbeda. Di samping perjumpaan manusiawi dengan etnis Tionghoa, kajian-kajian tentang Tionghoa di Indonesia juga sudah saatnya lebih sering didiskusikan agar kita semakin bisa memerdekakan diri dari berbagai asumsi atau klaim kebenaran yang telah lama ditanamkan tentang etnis Tionghoa. Selain itu, tindakan-tindakan diskriminatif harus dilawan sampai ke akarnya.
Penutup
Kita sadari bahwa penghayatan keberagaman kita sedang mengalami krisis. Wacana-wacana sempit atau sepihak seringkali berseliweran dan memenuhi ruang wacana kita bersama. Apa yang kita pikirkan, kita rasakan, kita inginkan, dan kita lakukan seolah semuanya sudah digerakkan oleh wacana-wacana sempit itu. Cerita-cerita para penulis bisa menjadi alternatif wacana. Cerita-cerita mereka membangun jembatan perjumpaan, bukan tembok pemisah. Cerita-cerita mereka melawan pesimisme di tengah krisis penghayatan keberagaman ini dengan menyajikan harapan-harapan yang harus terus diperjuangkan. Cerita-cerita ini juga meneguhkan siapa pun yang ingin memerdekakan dirinya dari segala prasangka-prasangka yang sebelumnya kita yakini kebenarannya, dan bergerak untuk berjumpa dengan mereka yang berbeda dengan kita. Cerita-cerita itu memerdekakan kita untuk memilih berbuat lebih banyak lagi untuk negeri ini secara bersama-sama meskipun berbeda-beda. Cerita-cerita ini merajut, merawat, dan terus berjuang mewujudkan harapan dan praksis solidaritas untuk negeri tercinta ini.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan