Modernitas dan Pendidikan Tanpa Alternatif

208 0
Kelas Tunas Nera Academia

Modernisme tercatat berunjuk gigi pada abad ke-17 sebagai sebuah gerakan yang berupaya mengakomodasi semangat humanisme. Demi, untuk meminjam pemikiran Foucault, mitos memanusiakan manusia, seperti seorang tukang cukur, modernisme getol untuk mengupayakan segala tertib dan kerapian.

Ia sama sekali tak menghendaki adanya ekspresi yang urakan dan terkesan natural. Segala sesuatunya mestilah terukur dan untuk itulah diperlukan adanya pengawasan dan kontrol. Manusia, sebagaimana yang tampak pada ambisi Hitler dan Nazinya, berupaya dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi sesosok insan superior.

Untuk memenuhi mitos memanusiakan manusia tersebut modernisme akhirnya mereduksi manusia menjadi deretan angka dengan harapan mudah untuk dikontrol: NIK (nomor induk kependudukan), NIP (nomor induk pegawai), NIM (nomor induk mahasiswa), Nope (nomor hape), Nomor Anggota, dst. Maka secara ekstrim dapat dikatakan bahwa di zaman modern inilah manusia benar-benar telanjang. Di samping itu ruang sosial dikonfigurasikan sedemikian rupa demi sebuah kontrol sosial: sekolah, universitas, rumah sakit, rumah sakit jiwa, gedung olah raga, mall, pasar tradisional, kawasan kaki lima, terminal, dst.


Merujuk pada Foucault, penggagas kontrol sosial tersebut adalah Jeremy Bentham dengan panopticon-nya. Secara sederhana, panopticon adalah sebuah menara pengawasan pada bangunan arsitektural penjara. Secara praktis, ia berfungsi untuk mengawasi segala gerak-gerik para narapidana agar mudah untuk ditertibkan dan dirapikan laiknya rambut yang mudah tumbuh dan memanjang, di mana di hari ini digantikan oleh kamera CCTV. Dengan demikian, secara paradigmatik, mitos memanusiakan manusia ala modernisme tersebut berarti menyamakan dan memperlakukan manusia sebagaimana narapidana.

Hanya saja, pada kasus seorang narapidana, pengawasan dan pengontrolan itu bersifat fisik, tapi pada manusia-manusia yang konon katanya modern, bersifat mental-psikologis. Ada mekanisme pendisiplinan diri yang diinternalisasikan lewat lembaga semacam sekolah, universitas, instansi (baik swasta maupun negeri), dst. Maka di sini, tepatkah orang mengatakan bahwa terdapat diskontinuitas antara abad modern dan abad pertengahan yang dianggap sarat dengan nilai-nilai dan semangat keagamaan yang puritan? Bukankah mekanisme pendisiplinan diri via indoktrinasi adalah ciri khas lembaga-lembaga agama?

Kerap mitos memanusiakan manusia yang menandai modernisme tersebut diterjemahkan secara sederhana sebagai sebuah pendidikan dan pemberdayaan sebagaimana yang diyakini secara buta oleh para aktivis NGO. Secara paradigmatik pun penerjemahan ini juga problematik seturut dengan modernisme itu sendiri yang sarat masalah. Dengan premis bahwa manusia perlu dimanusiakan, perlu dididik dan diberdayakan, secara tersirat modernisme justru menganggap bahwa selama ini manusia belumlah sepenuhnya manusia dan goblok. Di sini orang pada akhirnya mesti sadar akan yang namanya paradigma zaman (Thomas Kuhn) maupun episteme (Foucault). Konsekuensi dari paradigma maupun episteme ini adalah bahwa kriteria dan ukuran zaman sekarang tak dapat digunakan untuk menilai, apalagi menghakimi, zaman yang silam. Sebagaimana juga kalangan fundamentalis keagamaan yang menggunakan kriteria dan ukuran zaman kuno untuk menilai dan menghakimi zaman sekarang. Di sinilah, secara paradigmatik, akhirnya kalangan modernis dan kalangan fundamentalis bertepuk atau memiliki sesat pikir yang sama: sama-sama mengalami disorientasi waktu.

Sampai hari ini pendidikan di Indonesia pada khususnya, masih berjalan dengan sesat pikir sebagaimana yang saya utarakan tersebut. Modernisme dengan segala mitosnya masih kuat berakar pada teoritisi maupun praktisinya. Salah satu ciri yang menonjol adalah adanya penyeragaman pada anak-anak didiknya. Mereka masih meyakini mitos manusia universal ala modernisme. Seumpamanya saja, anak-anak yang bertempat di pulau Jawa atau anak-anak yang beragama Islam dapat disamakan dan diseragamkan dengan anak-anak yang bertempat di pelosok Kalimantan atau anak-anak yang beragama Katholik. Keberagaman ini dapat saya persempit lagi lingkupnya, anak-anak para seniman disamakan dengan anak-anak para ustadz, atau anak-anak desa disamakan dengan anak-anak kota, dst.

Saya kira yang acap dilupakan oleh para teoritisi dan praktisi pendidikan di Indonesia adalah apa yang saya sebut sebagai habitus. Secara sederhana habitus dapat dianalogikan sebagai anak seorang seniman yang ketika belajar seni dapat dilakukan sambil lalu atau sembari tiduran. Hal ini berbeda dengan anak seorang bankir yang perlu bersusah-payah untuk belajar kesenian. Atau lagi, anak seorang kyai yang dapat dengan mudahnya belajar agama dibanding anak seorang pelacur atau preman yang perlu mati-matian untuk menguasai ilmu-ilmu agama. Dengan demikian, ketika orang sadar akan mitos dan omong-kosong universalitas modernisme, maka ia patut bertanya, universal menurut siapa dan dengan kriteria apa pada akhirnya?


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *