Rembuk Perjumpaan Tionghoa Indonesia di Kaki Gunung Penanggungan

176 0

Pada hari Jumat 27 April 2018, aktivis dari beberapa kota di pulau Jawa memulai perjalanan mereka menuju ke kegiatan “rembug kerja” di Ubaya Training Center, Trawas. Sebagian besar dari para aktivis datang dari Surabaya, tapi ada juga yang dari Jombang, Malang, Solo, Jogja, dan bahkan ada yang berencana untuk datang dari Jakarta tapi kemudian berhalangan karena ketinggalan pesawat.

 

Rembug kerja ini adalah lanjutan dari bedah buku narasi memori “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”. Ide untuk bertemu ini muncul karena pendapat dari beberapa penulis dan editor narasi memori tersebut bahwa perlu adanya pembicaraan lebih lanjut terkait penulisan narasi memori berikutnya atau tindakan-tindakan yang bisa segera dilakukan dengan tujuan untuk mematahkan pemikiran dan tindakan rasis berbasis etnis antara kaum Tionghoa dan non-Tionghoa yang diwarisi dari sejarah dan leluhur.

Penggagas dari kegiatan “rembug kerja” ini mempunyai mimpi-mimpi yang bertujuan untuk membuat hubungan antaretnis di Indonesia, terutama bagi etnis Tionghoa, lebih harmonis dan menghargai keberagaman demi menciptakan kehidupan berbangsa yang penuh toleransi, cinta kasih, suka cita, dan kedamaian.

Acara yang awalnya direncanakan untuk diikuti sekitar 30 orang akhirnya hanya dihadiri oleh sekitar 20 orang saja karena beberapa berhalangan untuk hadir. Angka yang sudah sangat bagus sebenarnya mengingat bahwa pengumuman kegiatan ini baru disebarkan di awal pertengahan bulan April, sekitar dua minggu sebelum hari pertemuan. Dalam waktu yang tergolong singkat, mempertemukan 20 orang itu sudah suatu hasil kinerja yang luar biasa bagi panitia.

Pada hari Jumat 27 April 2018, aktivis dari beberapa kota di pulau Jawa memulai perjalanan mereka menuju ke kegiatan “rembug kerja” di Ubaya Training Center, Trawas.

Terkait panitia, adalah seorang tokoh yang namanya sudah cukup dikenal di kalangan kelompok lintas agama dan kaum muda, yaitu Aan Anshori dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) dan kelompok Gusdurian. Aan adalah salah satu editor dan aktor di balik ide pembuatan buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”. Undangan untuk mengikuti rembug kerja di Trawas inipun idenya.

Selain Aan, hadir pula teman-teman yang juga sudah menjadi penulis, editor, dan mereka yang berperan penting dalam keberhasilan memproduksi dan menyebarkan buku narasi memori ini. Dan yang pasti, tuan rumah dari Ubaya juga ikut hadir yaitu beberapa dosen dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Psikologi beserta beberapa mahasiswanya. Peserta yang mewakili organisasinya masing-masing atau yang ingin mendukung langkah berikut dari keberhasilan narasi memori ini juga ada yang hadir.

Walaupun dengan keberagaman latar belakang para peserta, relasi dan komunikasi dengan cepat dapat terjalin karena semuanya memiliki misi yang sama, yaitu membangun toleransi dan kedamaian. Ide-ide barupun terlontar keluar tanpa halangan, demikian pula dengan masukan-masukan atas perencanaan buku narasi memori kedua, termasuk masukan terkait bentuk, pengaturan, banyaknya halaman, dan seterusnya.

Pembicaraan dimulai sekitar jam 20.30 dan memang benar bahwa dalam diskusi yang hidup dan bersemangat, waktu berjalan sangat cepat. Pembicaraan pada hari pertama akhirnya diakhiri sekitar jam 22.30 dan dilanjutkan esoknya setelah sarapan. Esoknya kami memulai dengan langsung menindaklanjuti beberapa usulan yang dikemukakan malam sebelumnya.

Salah satu dari usulan tersebut adalah timbulnya kesadaran akan pentingnya memberi identitas kepada kelompok ini supaya dalam tindakan selanjutnya bisa lebih tertata, representatif, dan profesional. Identitas yang dimaksud ini adalah mencari nama bagi kelompok kami dan menyepakati kegiatan-kegiatan seperti apa yang ingin diwujudkan dalam jangka waktu singkat ke depan. Akhirnya kami membagi kelompok menjadi dua – satu kelompok mencari nama, memikirkan ide untuk logo dan merumuskan visi dan misi, sedangkan kelompok satunya membuat perencanaan kegiatan dalam satu tahun ke depan dan juga visi-misi.

Perumusan visi-misi dari kedua kelompok kemudian disatukan menjadi satu visi-misi yang berhasil disepakati bersama. Dalam jangka waktu hanya sekitar 3 jam di hari kedua itu, kami berhasil membuat suatu organisasi kecil. Mungkin organisasi malah bukan kata yang tepat karena tidak ada kesepakatan mengenai kepemimpinan. Akan tetapi karena kami bisa saling mendukung dan berani mengutarakan pendapat dengan bebas, bisa dikatakan kami semua punya andil, motivasi dan keinginan yang sama dalam kelompok. Dengan demikian, kata gerakan mungkin lebih tepat untuk mendeskripsikan bentuk kelompok ini.

Dalam waktu dua hari dan diskusi yang total waktunya mungkin tidak lebih dari 10 jam  dan itupun sudah termasuk diskusi formal maupun yang non-formal sambil ngopi dan merokok,  kami berhasil menyepakati pembentukan suatu gerakan yang lengkap dengan draft nama, visi, misi, tujuan, fokus, dan rencana kegiatan untuk satu tahun ke depan.

Inti dari gerakan ini adalah penguatan jaringan dengan melibatkan institusi-institusi pendidikan, keagamaan, organisasi sosial lainnya demi terciptanya kegiatan-kegiatan di mana terjadi perjumpaan antara kaum Tionghoa dan non-Tionghoa, terutama bagi kaum muda. Perjumpaan adalah kata kunci dan fokus dari apa yang kelompok ini dapat simpulkan, karena dari perjumpaan itulah visi gerakan ini, yaitu untuk “mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang toleran dan menghargai keberagaman” diharapkan dapat tercapai.

Oleh: Erlyn Erawan, Perwakilan dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *