Albert Einstein pernah mengatakan bahwa politik lebih sukar dari fisika. Ia seorang ahli fisika yang terbiasa dengan rumus-rumus baku dan mungkin juga tak tertarik pada politik. Kita tentu bisa memaklumi Eisntein, namun mungkin tidak sama bila itu diungkapkan akademisi ilmu politik.
Walaupun seandainya pernyataan “politik itu sukar” diungkapkan akademisi ilmu sosial politik pun harusnya dimaklumi juga. Politik memang sejatinya sukar dan rumit. Bukan hanya bagi awam bahkan bagi ahli politik. Bila tidak sulit, rasa-rasanya tidak perlu membuat fakultas ilmu politik.
Colin Bird (2006) mengatakan memahami politik tidak seperti memahami cuaca baik atau buruk atau tokoh jahat dan baik. Baik, bila tenang dan tanpa awan. Buruk, bila mendung disertai angin. Atau tokoh baik pada akhirnya menang dan penjahatnya mati atau dipenjara. Politik tidak sesederhana itu, ia membutuhkan pertanyaan-pertanyaan dan penilaian yang rasional.
Politik dan Polusi Informasi
Menyusun pertanyaan-pertanyaan dan penilaian rasional atas politik tidaklah mudah. Bila pada era totaliter hambatannya terletak pada pembatasan-pembatasan ruang bertanya, maka pada era keterbukaan informasi seperti saat ini justru lahir dari informasi itu sendiri. Ini merujuk pada gangguan informasi (dis-information) yang sengaja dirancang khusus untuk menaburkan kecurigaan, kebingungan, dan untuk mempertajam konflik sosial. Gangguan informasi nyata dalam filter bubbles (gelembung saringan) dan echo chambers (ruang gema) di media sosial. Fenomena ini yang oleh Jakob Nielsen (2003) disebut sebagai polusi informasi (information pollution).
Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem politik. Demokrasi mensyaratkan keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi bagi semua warga. Walaupun masih belum ideal, namun kian hari tetap diperjuangkan jadi lebih baik. Demokrasi sebagaimana prinsip keterbukaan dan kebebasan berekspresi mengandaikan semua orang baik. Namun tidak semua orang baik dan tidak semua orang jahat. Ada yang memanfaatkan keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi untuk tujuan baik, namun ada pula yang dengan sengaja menggunakannya untuk pemenuhan hasrat berkuasa, tipu muslihat, dan dominasi. Maka keberadaan polusi informasi nyaris tidak bisa dihindari. Bahkan Informasi yang tercemar diamplifikasi oleh media-media arus utama yang takut ketinggalan momen atau ditinggalkan audiens yang kian tergerus oleh media jenis baru.
Mudah sekali melihat dan menemukan polusi informasi dalam tayangan televisi, media cetak, media online, dan media sosial. Televisi dengan berita dan talkshow menampilkan potongan peristiwa, tokoh, narasumber hingga framing gambar dan suara yang dikemas sedemikian rupa agar menarik dan sekaligus melakukan diseminasi informasi untuk kepentingan tertentu. Maka apakah berita atau talkshow itu cover both side, tokoh dan narasumbernya kredibel atau tidak, gambarnya berimbang atau tidak, sudah bukan soal. Karena yang penting tayangan itu menyuntikan pengetahuan, kesadaran, dan menuntun aksi yang kurang lebih memenuhi hasrat berkuasa dan saling mendominasi antar aktor atau kelompok kepentingan.
Tidaklah mengherankan apabila acara talk show seakan berlomba menyajikan isu yang kontroversial, dengan narasumber cerewet dan disetting agar berisik biar ratingnya tinggi. Talk show dengan konsep berisik seperti ini hanya bisa tandingi sinetron tentang surga dan neraka. Hal yang sama terpantau jelas dalam kanal berita online hingga debat kusir cebong dan kampret di media sosial hingga aplikasi pesan. Persis pada situasi inilah politik, berikut pertanyaan dan penilaian yang rasional semakin tercemar. Hakikat ide dan gagasan politik semakin tidak jelas dan sulit pula menilai dan memahami apa itu politik. Bahkan lebih parah lagi, pemahaman politik hanya terbangun satu dimensi yaitu melalui media massa.
Melahirkan Keengganan Berpolitik
Apa kemudian dampak dari polusi informasi dan budaya berisik di media ? Pertama, pengkerdilan makna politik. Politik hanya dipahami sebagai arena saling dominasi, tipu muslihat, monopoli kebenaran dan manipulasi. Politik dikerdilkan, hanya semata-mata sebagai cara perebutan kekuasan atau kontestasi jabatan publik serta drama-drama yang menyertainya.
Kompas (28/12/2017) merilis hasil jajak pendapat berjudul “Anak Muda dan Politik dengan pertanyaan: Yang terlintas pertama kali ketika mendengar kata politik?”. Hasilnya 35,5% mengatakan Politik itu Kekuasaan, 13,8% Kebohongan, 15,6% Korupsi dan 18, 9% Demokrasi. Hasil jajak pendapat ini menunjukan anak muda dengan rentang usia 17-37 mempersepsikan politik sebagai hal yang buruk.
Kedua, keengganan atau mungkin lebih tepat “geram dan eneg ” terhadap politik. Nera Academia (11/02/2018) dalam survey tentang “Mahasiswa dan Media Sosial” khususnya tentang afiliasi dan kesukaan dengan grup dan halaman media sosial menujukan 30% suka/gabung Kerohanian, 30% Perkuliahan, 17% Hobby, dan hanya 4% sosial politik. Walaupun tidak mewakili populasi anak muda yang menurut data BPS 2014 sebanyak 84 juta jiwa, ini menunjukkan rendahnya perhatian anak muda pada politik.
Tangkapan survey di atas bisa dimaknai sebagai reaksi yang wajar bila merupakan respon terhadap pemberitaan media. Wajar juga bila merupakan reaksi atas keputusan politik yang dianggap merugikan atau mencederai rasa keadilan. Namun reaksi ini perlu dikritisi, karena bisa jadi ini dampak dari keterbatasan cakrawala politik atau keterjebakan dalam filter bubbles dan echo chambers.
Pemaknaan Politik dan Partisipasi
Pada titik ini terlihat persepsi dan penilaian tentang politik secara dominan dibentuk oleh media yang dalam prakteknya sudah tercemar. Inilah satu pokok masalah dan penting rasanya diurai hingga solusi. Pertama tentang pemahaman hakikat politik (politic). Politik dapat dimaknai sebagai usaha masyarakat untuk mengatur konsekuensi interaksi di ranah publik dalam usaha mewujudkan kebaikan bersama. Kata kuncinya adalah kebaikan bersama (bonum commune) atau kondisi-kondisi dimana setiap orang dalam komunitas mampu hidup secara layak dan dilindungi hak dan kewajiban dasarnya sebagai manusia dan warga negara.
Kedua, adapun kontestasi (politiking) yang sifatnya prosedural merupakan upaya bersama untuk memilih administrator yang kredibel untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonnum commune). Pejabat yang dipilih melalui pemilu sebagai mekanisme demokrasi semata-mata ditujukan agar kebaikan bersama, keadilan sosial dan pemenuhan hak dan kewajiban warga terlayani sesuai sistem yang disepakati bersama.
Adrian Leftwich (2004) dalam buku What Is Politics? The Activity and its Study, mengajukan definisi politik sebagai induk semua aktivitas kolektif, baik publik maupun privat, formal atau informal, yang terjadi di semua lapisan kelompok dan lembaga masyarakat. Karena itu politic dan politicking baiknya dipahami sebagai jaring kesalingtergantungan dan kosekuensi interaksi publik yang hanya akan berjalan menuju kebaikan bersama bila ada partisipasi dan kontrol kolektif.
Karena itu, meski geram dengan prilaku politikus, partisipasi dan kontrol kolektif terhadap praktik politik menjadi penting. Orang muda tidak bisa melarikan diri dari partisipasi politik, seraya berharap tercapainya perubahan. Tidak bisa apolitis kemudian berharap keadilan sosial terwujud dengan sendirinya. Orang muda baiknya menyediakan diri sebagai agen-agen kontrol yang bekerja secara kolektif. Kontrol bisa dibangun dengan pendekatan kritis dan juga partisipatif. Jadi pemilih cerdas dan bermartabat saat pemungutan adalah satu contoh partisipasi. Cara lain partisipasi juga dengan membangun dan menyuntikan wacana politik alternatif yang rasional pada wilayah pengaruh masing-masing.
Pilihan partisipasi politik dalam era informasi digital sungguh sangat terbuka. Wacana politik alternatif dapat disuntikan secara efektif dengan bantuan teknologi informasi. Teknologi informasi dapat kembangkan sebagai media advokasi dan pendampingan kaum tertindas. Mediumnya bisa sangat beragam dan khas anak muda, seperti melalui tulisan, film, foto, dan kegiatan sosial lainnya.
Sungguh disayangkan apabila bonus teknologi ini disia-siakan. Anak muda baiknya mengisi cela ini, agar tidak hanya jadi pengikut (followers) namun punya pengaruh (influencer) dan menyiapkan diri jadi penggerak yang terlatih dan terdidik untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik pada masa datang.
Referensi :
Bird, Colin, “An Introduction to Political Philosophy” , Cambridge University Press, 2006, 2.
Claire Wardle, PhD. Hossein Derakhshan, “INFORMATION DISORDER : Toward an interdisciplinary framework for research and policy making”, Council of Europe report DGI, 2017/09, 5
Harja Saputra, “Polusi Berita” , diakses dari : https://www.harjasaputra.com/opini/komunikasi/polusi-berita.html
Nera Academia, “Survey Mahasiswa dan Media Sosial”, 2018
Saiful Rijal Yunus, Dewi Pancawati, Litbang Kompas, “Anak Muda dan Politik”, Harian Kompas, 28 Dec 2017
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan