Persepsi Dan Aspirasi Politik Generasi Milenial :  Dari Politik Santri, Media Sosial Hingga Politik Uang

216 0

Generasi Milenial dan Politik Identitas

Generasi milenial di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konservatifisme di Indonesia. Masyarakat Indonesia secara kultural, khususnya di perkotaan, telah mengalami peningkatan minat terhadap agama.

 

Hal ini disampaikan Amin Mudzakkir, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam acara Seri Diskusi Pemilu : “Persepsi dan Aspirasi Politik Generasi Milenial” di Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya (26/10/2018). Perubahan ini menurutnya,  tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik di era Orde Baru ketika Soeharto saat itu mendekat ke kelompok agama dan menimbulkan perpindahan abangan menjadi santri.

“ Perpindahan abangan menjadi santri dapat dilihat tandanya, misalnya, dalam bentuk pemberian nama kepada anak-anak. Orangtua yang memiliki nama khas abangan justru memberikan nama khas santri kepada anak-anaknya” jelas Mudzakkir.

Lebih lanjut, Mudzakkir menjelaskan, orientasi hidup generasi milenial yang kemudian lebih religius dan politis dimediasi oleh keberadaan internet dan media sosial yang tersirkulasi dalam suatu komunitas kultural yang terbatas. Konteks tren konservatifisme di Indonesia ini berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Menguatnya kelompok kanan di Eropa disebabkan perubahan demografi akibat peningkatan jumlah imigran yang masuk.

Amin Mudzakkir mengelompokkan generasi milenial muslim di Indonesia menjadi generasi milenial muslim yang modernis dan generasi milenial muslim tradisionalis. Kedua golongan ini direpresentasikan secara organisatoris melalui Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Depolitisasi Orde Baru ternyata membuka kesempatan bagi para pendakwah–yang umumnya berlatar belakang Islam modernis—menyiarkan paham keagamannya secara intensif di masjid-masjid di perkotaan, baik di lingkungan kampus maupun komunitas. Corak keagamaan kelompok ini puritan. Mereka juga mempunyai kecenderungan sektarian.

“ Di sisi lain, basis generasi milenial Muslim tradisionalis adalah pesantren-pesantren di pedesaan. Namun sejak dekade 1980-an, terjadi suatu mobilitas sosial dan intelektual yang luar biasa di kalangan ini. Berbeda dengan kelompok modernis yang cenderung puritan dan sektarian, generasi milenial Muslim tradisionalis justru terlihat lebih moderat dan toleran” lanjut Mudzakkir.

Peneliti LIPI ini juga menemukan, pembelahan Islam modernis dan Islam tradisionalis di generasi milenial juga diidentifikasi di media sosial. Pembelahan ini didukung dengan sistem algoritma dalam media sosial yang mengatur jaringan pertemanan berdasarkan jejaring preferensi kultural kita. Akibatnya, seseorang dengan preferensi Islam modernis cenderung akan berteman di media sosial dengan kelompok modernis saja, begitu pula dengan kelompok tradisionalis. Hal ini mengakibatkan kedua kelompok ini sukar untuk berdialog di media sosial. Ia mengutip Merlyna Lim (2017) yang telah  menunjukkan bagaimana media sosial menciptakan daerah kantong algoritmik (alghorhitmic enclaves) dalam Pilkada DKI Jakarta.

” Alih-alih memjembatani, media sosial justru membentengi kemungkinan adanya titik temu di antara faksi – faksi politik dalam masyarakat” kata Mudzakkir

Amin Mudzakkir menawarkan tiga rekomendasi terhadap fenomena ini. Pertama, pada tingkatan individual, kita harus menerima dan terlibat pertemanan dengan pihak yang berada di luar lingkaran kultural media sosial kita, termasuk mereka yang tidak kita suka. Kedua, pada tingkatan institusional (negara), pemerintah harus menetapkan suatu kerangka etik-normatif yang lebih jelas dalam bentuk regulasi internet yang lebih tegas, termasuk informasi mana yang harus didukung dan mana yang harus dibatasi sirkulasinya. Ketiga, kita juga harus berani meladeni diskusi dan bahkan debat dengan kelompok konservatif di media sosial agar narasi konservatifisme dan fundamentalisme tidak menyebar di kalangan generasi milenial.

Arya Fernandes, Peneliti CSIS

Arya Fernandes, Peneliti CSIS (Centre for Strategic and International Studies) menyampaikan beberapa hasil survei terhadap generasi milenial dalam acara Seri Diskusi Pemilu : “Persepsi dan Aspirasi Politik Generasi Milenial” di Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya (26/10/2018). Foto : Dok

Persepsi Generasi Milenial terhadap Politik

Sementara itu Arya Fernandes, Peneliti CSIS (Centre for Strategic and International Studies) menyampaikan beberapa hasil survei terhadap generasi milenial. Dalam survey CSIS, pertumbuhan pemilih milenial dapat dipastikan meningkat pada pemilu 2019 mendatang dan posisi tersebut menyebabkan milenial diperhitungkan secara politik.

“Kontestasi yang ketat diperkirakan akan membuat milenial semakin strategis. Namun generasi milenial gampang berubah dan kemungkinan akan menentukan pilihannya di menit-menit terakhir sebelum pemilihan (late-deciders)” kata Arya.

Arya menjelaskan bahwa, secara umum keterlibatan politik milenial masih rendah baik secara online maupun offline (Survei CSIS, 2018). Keterlibatan politik dilihat dari aktivitas milenial dalam menunjukkan dukungan/preferensi politik di sosial media, terlibat dalam kampanye/relawan kandidat/partai, menandatangani petisi, atau menjadi anggota partai, dll. Kedekatan politik dengan partai dan calon juga rendah.

Generasi milenial juga tidak terbuka untuk diasosiasikan dekat dengan kepada salah satu calon/partai. Dari tiga aspek yang diuji tentang aktivitas online, rata-rata hanya sebesar 8.3% generasi milenial yang pernah menunjukkan secara terbuka pilihan dan sikap politiknya. Namun jika dibandingkan antara generasi milenial kota dan pedesaan, generasi milenial kota lebih aktif mengekspresikan pandangan politik dibandingkan milenial desa. Hal ini disebabkan konektivitas milenial kota lebih tinggi kepada media sosial dan internet dibandingkan milenial desa

“ Partai politik harusnya lebih terbuka kepada generasi milenial untuk mengakses struktur partai “ tegas Arya.

Arya menunjukan riset CSIS yang menunjukan beberapa pemimpin elit di tingkat lokal mulai bergeser ke usia 40-45 tahun, tetapi ini tidak terjadi di tingkat pusat. Jika partai politik mampu memberikan akses kepada generasi milenial dan menjalankan meritokrasi secara konsisten sehingga generasi milenial dapat melihat adanya jenjang karier ketika terjun di politik. Praktik meritokrasi tersebut diharapkan dapat menghapus stigma apolitis terhadap generasi milenial.

Aspirasi Politik Generasi Milenial

Hal menarik juga diungkapkan Abraham Sridjaja, DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang  memaparkan pengalamannya bersentuhan dengan dunia politik pada pilkada DKI Jakarta yang lalu.

“ Mobilisasi  dukungan bagi generasi milenial dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bercirikan kultur pop, dibandingkan dengan metode -metode lama seperti rapat umum” jelas Abraham.

Menurut Abraham, hal ini dilakukan karena banyak generasi milenial alergi untuk mendiskusikan topik-topik politik, apalagi jika harus datang di acara yang 100% membicarakan politik. Oleh karena itu politik harus dikemas senyaman mungkin untuk dapat dikonsumsi oleh generasi milenial.

“ Problem lainnya dalam partai politik yang menghambat akses generasi milenial adalah politik berbiaya tinggi. Ekspekstasi masyarakat terhadap politisi seringkali hanya dikaitkan dengan uang “ lanjut Abraham.

Ekspektasi yang keliru ini  menurut Abraham,  dapat mempengaruhi terbentuknya lingkaran korupsi yang tidak ada ujungnya. Politisi cenderung korup ketika dia harus mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan. ” Oleh karena itu jiwa voluntarisme dalam politik seharusnya menjadi tradisi, bukan hanya bagi aktivis politik tetapi juga bagi masyarakat biasa” tegas Abraham.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *