Quo Vadis Nasionalisme Indonesia?

181 0
asian games

Perhelatan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang telah menoreh sejarah baru. Para atlet memberi asa baru bagi olah raga kita. Setidaknya Indonesia mampu bertengger di peringkat keempat se-Asia. Sekali lagi, “Siapa kita?”

 

Beberapa target perolehan medali emas mampu terlewati. Salah satunya adalah cabang olah raga pencak silat yang memborong medali emas di semua nomornya. Perjuangan para atlet mengharumkan nama Indonesia patut diapresiasi. Alunan theme song “Meraih Bintang” sesuai dengan ekspetasi.

Para atlet Indonesia telah menunjukkan sikap sportivitas dalam kontestasinya selama pertandingan. Penggalan syair theme song Asian Games 2018 menyebutkan “kalau kalah jangan frustrasi, kalau menang solidaritas”. Menang atau kalah tetap menunjukkan iktikadnya. Apakah hal ini menambah rasa nasionalisme kita?

 Momentum Nasionalisme

Rio Christiawan, dalam Kompas (16/8), beropini tentang momentum nasionalisme. Mula-mula, momentum ini hadir melalui kemenangan-kemenangan para atlet, mulai dari timnas U-16 dan Lalu M. Zohri. Beberapa kemenangan yang diraih oleh para atlet Indonesia dalam Asian Games 2018 juga memantik momentum.

Menurutnya, momentum ini diperlukan demi menggebrak semangat nasionalisme dalam tahun politik. Alasannya sederhana, nasionalisme adalah roh pemersatu bangsa. Momentum nasionalisme memberi harapan untuk kerja bersama membangun Indonesia.

Harapan utamanya adalah membangun nasionalisme mulai dari titik nol. Siapakah pelaku pembangunan ini? Subjeknya adalah masyarakat. Masyarakat sebagai penyelenggara negara. Mengingat adanya asas demokrasi di sini.

 Telos Nasionalisme

Merajut nasionalisme disadari lewat momentum-momentumnya. Adanya kesadaran kolektif semacam ini membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Nasionalisme membutuhkan peran serta sekelompok manusia yang mempunyai tujuan dan cita-cita bersama.

Persoalannya, selain pembangunan kesadaran kolektif yang membawa ke arah yang lebih baik, tetap saja memerlukan arah yang jelas. Arah ini dapat dimengerti sebagai tujuan (telos).

Ibaratnya, seorang nakhoda yang perlu mengetahui ke mana kapal tersebut akan belabuh. Segala rintangan baik ombak maupun badai pun siap dihadapinya. Artinya, adanya tujuan yang memudahkan langkah-langkah kita selanjutnya.

Pada pernyataan awal Aristoteles dalam Ethica Nicomachea, “Every art and every inquiry, and similarly every action and pursuit, is thought to aim at some good; and for this reason the good has rightly been declared to be that which all things aim”.[1] Berdasarkan hal tersebut, bagi Aristoteles, setiap karya, penelitian, dan demikian juga setiap pencarian atau tindakan memiliki suatu tujuan yang baik. Selebihnya, tujuan itu, nantinya, mengacu pada kebahagiaan.

Untuk itulah, nasionalisme perlu memiliki suatu tujuan sehingga tidak berhenti pada satu titik. Momentum nasionalisme memang memicu tumbuhnya benih-benih kebersamaan. Kesadaran masyarakat mulai dibangkitkan. Akan tetapi, nasionalisme juga butuh kejelasan. Kejelasan akan tujuan.

Kejelasan ini telah dirakit oleh para pendiri bangsa Indonesia dan disematkan ke dalam Pancasila. Tujuan ini dihadirkan melalui Pancasila. Hadirnya Pancasila sudah digagas sedemikian rupa. Tentu saja, substansi dari Pancasila menjurus kepada kebahagiaan (happiness).

Mendefinisikan kebahagiaan, tidak semudah membalik telapak tangan. Presiden Joko Widodo memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan kesehatan masyarakat. Pembangunan infrastruktur diwujudkan dalam pembangunan jalan tol dan trans Papua. Kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Apa yang hendak dicapai?

Momentum nasionalisme tidak hanya dirasakan satu atau dua orang saja. Gejolak nasionalisme dirasakan oleh kita semua, masyarakat Indonesia. Persoalannya, pandangan nasionalisme tidak sebatas euforia kemenangan para atlet di Asian Games 2018. Nasionalisme mengandalkan integritas, kemakmuran, dan kekuatan suatu bangsa. Quo vadis nasionalisme Indonesia? Apakah untuk kebahagiaan? Apakah menuju kebaikan bersama? Semuanya perlu direfleksikan kembali. “Indonesia luar biasa”

Oleh : Vincentius Agsuko Wiguna,  Mahasiswa Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya.

Email : vincentiuswiguna07@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA 

ARISTOTLE, The Nichomachean Ethics.

 


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *