Beberapa tahun terakhir, tidak hanya perayaan Natal, perayaan Tahun Baru pun jadi polemik untuk diucapkan atau dirayakan. Baru-baru ini (12/18) di Malang ada himbauan tidak merayakan Natal dengan demonstratif, di Aceh Barat dan Riau pemerintah setempat mengeluarkan surat himbauan agar tidak merayakan pergantian tahun atau tahun baru.
Banyak yang bertanya, bagaimana merayakan natal dengan tidak demonstratif? Bagaimana bisa kita melarang orang untuk bergembira dan merayakan peristiwa bahagia? Anda bingung, saya bingung. Bukan soal jawabannya, tapi bagaimana bisa ruang publik dan pejabat publik kita bisa jadi seperti ini.
Bagi saya, fenomena larang-melarang ini sesungguhnya tidak jadi soal ketika ada di ranah privat. Ranah privat seperti kepercayaan, iman, dan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seseorang atau kelompok tertentu. Selama itu berkaitan dengan kebenaran partikular, bagi saya tidak jadi soal.
Jadi sangat mengganggu dan membuat jengah ketika larang melarang itu sudah masuk ke ranah publik. Ranah publik berkaitan dengan fasilitas publik, kebijakan publik, aparat publik dan kebijakan publik. Dalam ranah publik sebaiknya memakai ” kebenaran” universal atau minimal menahan diri agar tidak terlihat cenderung memaksakan kebenaran partikular. Namun nyatanya itu tidak terjadi.
Ini meresahkan bagi saya. Mungkin bagi yang lain tidak. Jadi ini ekspresi kejengahan personal saya, tentang larangan atau himbauan yang memaksakan diri masuk dalam ruang privat masyarakat. Rasanya tepat pernyataan ” semakin banyak aturan, tanda kepemimpinan lemah”
Bagi saya, Anda mau berdoa, makan-makan berkumpul bersama keluarga dan teman-teman dan apapun silahkan. Bagi yang tidak mau merayakan juga tak apa. Itu hak dan kebebasan personal, bisa jadi juga komunal.
Namun ketika anda mengatakan secara publik bahwa orang yang merayakan pergantian tahun sama dengan maksiat, dekat dengan kesesatan dan mudarat, itu kesimpulan yang gegabah. Apapun argumentasinya, ini sungguh gegabah.
Menuduh orang yang merayakan tahun baru itu lebih banyak mudaratnya dan bahkan maksiat adalah bentuk arogansi, kesombongan dan kepicikan. Bagaimana tidak, anda semena-mena memaksakan kebenaran kerdil, sempit dan partikular yang mungkin orang lain tidak mempercayainya.
Cukuplah anda kunyah, telan, dan beol kebenaran sempit itu di ruang privat. Anda silahkan menikmatinya dirumah, kamar, toilet atau di manapun yang membuat anda nyaman.
Terus jika kemudian kesimpulan yang gegabah itu dituangkan dalam edaran surat himbauan dan peringatan, itu gegabah level lanjut, level katrok. Apalagi yang melakukan itu pejabat publik dan aparat negara. ini tentu sangat merendahkan pembayaran pajak yang ikut membayar anda lewat APBN dan APBD.
Aparatur negara dan pejabat publik itu salah satu sifatnya itu milik umum, milik masyarakat dan kebijakannya berdampak umum. Itu artinya anda tidak bisa hanya mewakili kebenaran dan kepentingan golongan tertentu. Tidak bisa semena-mena membuat aturan bahkan pernyataan. Betapa katroknya bila tidak sadar peran ini.
Tapi gini ya… Anda baiknya berlapang dada. Nyatanya kita harus ganti kalender. Anda juga harus ganti kalender, biar tidak salah jadwal kerjaan, kuliah dan cicilan. Jadi, entah anda merayakan, mengucapkan selamat atau tidak, beberapa jam lagi, tahun 2019. Itu artinya tahun baru.
Bagi anda yang merayakan pergantian tahun baru, mari kita ramaikan. Bebaskan ekspresimu. Bila kita terkekang, larangan itu akan tumbuh jadi tiran. Mari rayakan dengan gembira dan jangan takut. Sebab senang-senang baik untuk kesehatan otak. Rayakan, agar otak kita sehat di 2019.
Selamat Merayakan Tahun Baru 2019
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan