Tahun 1914, gerakan protes terhadap rezim Belanda di Jawa mencapai puncaknya. Gubernur Jendral Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg pada tahun 1913 dengan sangat hati-hati memberikan dukungan kepada Sarekat Islam (SI).
Dukungan itu diambil sebagai langkah diplomatis untuk meredam pemberontakan di desa-desa. Langkah Idenburg ternyata tidak menuai hasil yang diharapkan, perlawanan tetap meluas sehingga mencul ungkapan di kalangan orang Belanda kala itu “salah Idenburg”
Walaupun SI dekat dan diakui rezim Belanda, toh tidak sanggup memadamkan protes. Rakyat pedesaan telah menganggap SI sebagai gerakan perlawanan terhadap struktur kekuasaan lokal yang monolitis. SI menjadi lambang solidaritas kelompok yang dipersatukan oleh ketidaksukaan terhadap orang Cina, golongan Priyayi, orang-orang yang menolak jadi anggota SI, dan orang Belanda.
Namun, dari semua cerita perlawanan yang menyebar di Jawa saat itu, ada satu gerakan protes yang sangat istimewa. Gerakan itu tumbuh di daerah Blora bagian selatan. Samin Surantiko (1859-1914), seorang petani Jawa yang tidak kenal baca tulis menggelorakan perlawanan. Tidak hanya pada Belanda, juga pada golongan Priyayi.
Samin Surantiko menghimpun para petani untuk menolak segala bentuk kekuasaan dari luar dan khususnya menolak peraturan kehutanan yang diterapkan Belanda di kawasan hutan jati di daerahnya. Perlawanan ini membuat pejabat-pejabat Priyayi dan Belanda kelabakan, lantaran tidak seperti SI yang memiliki garis organisasi dan digerakan oleh kaum terdidik.
Orang Samin, begitu mereka disebut. Mereka menganut kepercayaan asli yang disebut Elmu Nabi Adam, Ilmu dari Nabi Adam. Walaupun menggunakan nama Nabi Adam, kepercayaan asli ini tidak ada kaitannya dengan Islam. Bahkan juga tidak ada kaitannya dengan Hindu dan Budha yang menjadi agama mayoritas di Jawa sebelum Islam. Hingga kini, belum ada penjelasan yang memadai tentang penamaan kepercayaan ini.
Elmu Nabi Adam, yang dipercayai Orang Samin menurut catatan M.C Ricklefs merupakan kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja pertanian, pelestarian alam, perlawanan pasif (ada pula yang menyebutnya perlawanan diam atau damai), dan keutamaan keluarga inti. Mereka juga menolak perekonomian uang, struktur-struktur desa yang diadaptasi dari luar (non-Samin), dan segala bentuk kekuasaan dari luar. Termasuk penguasa tradisional, golongan priayi, apa lagi Belanda.
Tiga gerakan Orang Samin yang sangat monumental dan mengganggu rezim Belanda kala itu adalah menolak membayar pajak, menolak kerja paksa dan tidak mau memanfaatkan sekolah-sekolah pemerintah. Penolakan Orang Samin terhadap sekolah-sekolah, bertolak belakang dengan SI yang sangat bersemangat mendirikan sekolah-sekolah sampai ke desa-desa hingga ke perkebunan-perkebunan yang terpencar di pelosok Jawa.
Golongan Priyayi yang marah tidak dapat menghentikan Gerakan Orang Samin. Pada tahun 1907, dengan bantuan Belanda yang juga semakin khawatir meletusnya pemberontakan, Samin Surantiko ditangkap dan diasingkan ke Palembang. Samin Surantiko, meninggal di Padang tahun 1914, namun sumber lain menyatakan ia meninggal di Palembang ( Ricklefs ,2005: 350).
Penangkapan dan pengasingan Surantiko ternyata tidak memadamkan perlawanan. Gerakan terus berjalan dan perlawanan pasif itu mencapai puncaknya tahun 1914 saat Belanda kembali menaikan pajak. Upaya Belanda dan tekanan pejabat-pejabat Priyayi tidak mampu membendung Gerakan Orang Samin yang terus melakukan perlawanan pasif hingga tahun 1970 an setelah Indonesia merdeka .
Dalam catatan Ricklefs, pada tahun 1967 gerakan petani kembali menguat di Blora Selatan oleh Mbah Suro (1921-67), tokoh yang dianggap sakti oleh masyarakat setempat. Gerakan ini oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai kebangkitan komunisme. Pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan tentara yang menewaskan Mbah Suro dan sejumlah pengikutnya. Namun gerakan ini tidak semerta-merta dikaitkan dengan perlawanan Samin Surantiko pada akhir abad IX atau awal abad XX.
Cerita perlawanan Samin Surantiko pada awal abad XX hingga gerakan Mbah Suro tetap hidup hingga kini. Banyak versi cerita tentang mereka yang mungkin berbeda dari tulisan ini. Ada perbedaan dan perdebatan itu lumrah. Namun yang jelas, gerakan perlawanan mereka pernah ada dan melegenda.
Gerakan Samin Surantiko, genuine dari kebajikan lokal dan keberpihakan mereka pada keutamaan-keutamaan hidup yang mereka yakini. Keutamaan itu antara lain : keutamaan pada kerja pertanian, pelestarian alam, kekuatan dan keutamaan keluarga inti, penolakan pada kekuasaan monolitik, perekonomian uang, dan struktur yang menindas. Keutaman-keutamaan ini tampaknya dihidupi warga Komunitas Adat Sedulur Sikep yang tengah berjuang menolak pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
*Tulisan ini diolah dari berbagai sumber bacaan dan cerita lisan. Salah satu sumber bacaan adalah buku “Sejarah Indonesia Modern 1200-2005, M.C Ricklefs, Penerbit Serambi, 2005”.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan