Sepatu

235 0

kalamun nandhing sarira
tinemu beda malah nyulayani
benere dhewe ginunggung
tinampik liyaning lyan
beda kalyan tepa sarira puniku
ika kang den upayaa
tinemu samining sami
(Pangkur Kebhinekaan/Heru Harjo Hutomo
)

Akhir tahun 2018 ini kembali saya ikut merayakan natal. Saya masuk gereja, ikut mengamini doa selayaknya umat Katolik lainnya—sembari sesekali melagukan pujian yang belasan tahun masih terekam dalam ingatan saya: “Alleluyah….”

Khotbah yang penuh suasana yang positif dan inklusif pun tak lupa saya khidmati—dan yang paling saya catat: ajakan untuk solider.

Barangkali, orang yang tumbuh dalam latar belakang keagamaan yang berbeda seperti saya akan sedikit kikuk untuk ikut merayakan natal yang tak semata ucapan. Dan saya paham akan hal itu. Pendidikan keagamaan yang kita terima sejak kecil memang turut memoles, membentuk, dan mengungkung psyche kita. Maka pada titik ini, iman bukanlah sesuatu yang semata given saya kira, tapi juga sebuah konstruksi (Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/kearifan-yang-hilang.html).

Misa Natal di Gereja St. Antonius Muntilan, Magelang/ dok. Heru Harjo Hutomo

Saya bukanlah tipikal orang yang asal berbuat tanpa dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu. Selalu saja perbuatan yang saya lakukan sesadar mungkin beranjak dari sebuah prinsip tertentu. Saya mengistilahkan prinsip yang saya pegang ini sebagai sebentuk “pluralisme menyeberang” (crossing pluralism).

Telah menjadi kepercayaan khalayak, unit terkecil dari masyarakat adalah keluarga, atau yang lebih saya spesifikkan, sepasang suami-isteri, lelaki dan perempuan. Di sini saya tak bermaksud meminggirkan kalangan LGBT. Namun dengan memakai oposisi biner lelaki-perempuan, saya hendak menjelaskan sebuah pola pikir yang merupakan, untuk meminjam istilah Nancy K. Florida, “kesatuan organik dari yang paradoksal” (Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang, 2003).

Perbedaan itu tak semestinya mengasingkan satu sama lain, sebagai konsekuensi logis dari apa yang saya sebut sebagai pluralisme relativistik atau pluralisme eksklusif (Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com/menimbang-ulang-pluralisme/).

Saya menggambarkan apa yang saya sebut pluralisme menyeberang (crossing pluralism) sebagai sepasang sepatu.

Sepatu itu akan tampak bermakna, berfungsi, elok dan lengkap apabila sepasang. Tak perlu mengartikan analogi ini macam-macam. Analogi ini untuk memudahkan pola pemahaman, pola pikir. Karena sesungguhnya, bukanlah realitas yang mutlak menentukan cara berpikir seseorang, namun kerapkali yang sebaliknya.

Bebrayan di tengah perbedaan, di tengah kebhinekaan, akan berlangsung secara sehat dan fungsional apabila masing-masing pihak berpola pikir menyeberang semacam ini.

Sepatu tak akan berfungsi sebagaimana mestinya apabila (1) terbalik, yang semestinya kiri menjadi kanan dan sebaliknya; (2) yang kiri melulu berada di depan atau bahkan meninggalkan yang kanan atau sebaliknya; (3) tumpang menyilang.

Ada satu momen di mana sepasang sepatu itu berhenti, sama sejajar, berdempetan, berdampingan, menyatu ke satu kelengkapan, berdialog, yang barangkali tanpa kata, hanya sesesap suara, serangkaian nada, yang menyingkap hidup yang muspra:like a leaf falls and flies/ the wind knows where it goes.

Apa yang saya tentang sebenarnya adalah perbedaan yang hierarkis (Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/terorisme-dan -emansipasi-gender.html). Semisal, dalam kasus sepatu, adalah terjadinya positioning (1), (2), dan (3) di atas. Fungsi sepatu otomatis mati pada titik ini.

Demikian pula kebhinekaan, selama kesejajaran atau kesetaraan itu tak ada, yang tersisa hanyalah petaka. Kebhinekaan selebratif yang semu di mana hanya akan menjadi lingkaran setan penindasan, baik simbolik maupun fisik.

Itulah kenapa saya perlu menegaskan tentang apa yang saya sebut sebagai crossing pluralism. Sebab, pada praktiknya banyak paham pluralism yang—dengan maraknya radikalisme keagamaan dan terorisme belakangan ini—cenderung elitis dan pongah, bahkan diskriminatif. Tak pelak lagi, seandainya mau jujur, pluralisme eksklusif secara tak sadar telah ikut pula melanggengkan kesenjangan sosial, hierarki budaya, atas nama kerukunan antar umat beragama.

Saya teringat bagaimana dahulu kapitalisme menggunakan agama untuk melanggengkan penghisapan dan penindasan: tabah lara duniawi dengan kompensasi pembebasan ukhrawi (“Akumu Adalah Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara,” Heru Harjo Hutomo, Majalah Adiluhung). Inilah salah satu efek buruk pluralisme eksklusif yang meninabobokkan kenyataan. Dan eksklusivisme pluralisme seperti inilah satu di antara beberapa faktor yang ikut menyuburkan radikalisme keagamaan—yang kini kerap pula mengusung isu-isu populisme—dan terorisme.

Pluralisme eksklusif semacam itu saya ibaratkan sebagai pahlawan kesiangan. Mereka, para pluralis itu, dengan pongah merasa bahwa pluralisme yang mereka usung dan gembar-gemborkan selama ini telah mendamaikan negeri. Padahal, dalam kenyataannya, banyak daerah dan komunitas lokal yang saya jumpai telah mewarisi dan menghidupi kebhinekaan serta toleransi antar umat beragama sejak istilah “pluralisme” itu sendiri belum menjadi buah bibir (Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/menghidupi-tradisi-menyemai-toleransi.html dan http://jalandamai.org/berpijak-di-akar-budaya-yang-sama.html).

seandainya membandingkan diri
akan menemukan perbedaan yang mengarah pada permusuhan
kebenaran sendiri diagungkan
kebhinekaan ditampik
berbeda dengan tenggang-rasa
ika yang diupayakan
menemukan rasa yang tunggal adanya


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *