Yang Dilupakan Nadim Makarim dalam Pidatonya

211 0

Percakapan media sosial kita beberapa hari lalu ramai membicarakan tentang peringatan hari Guru Nasional. Hal itu tidak lepas dari viralnya isi pidato menteri pendidikan kita, Nadim Anwar Makarim. Banyak orang memuji isi video itu, sehingga dengan cepat, vidio itu menjadi viral di berbagai kanal media sosial.

Dalam pidatonya itu, Nadim banyak berbicara tentang kondisi Guru di sekolah. Ia menyoroti berbagai persoalan yang selama ini menyandra para Guru untuk berkembang, mulai dari banyaknya aturan, tugas adminitratif yang menyita waktu, hingga persoalan kurikulum.

Ia mengawali pidatonya, dengan mengatakan bahwa, “tugas Guru adalah yang termulia sekaligus yang tersulit”. Hal itu tidak lain karena Guru, kata Nadim, “ditugasi membentuk masa depan bangsa”. Namun dalam menjalankan tugas yang amat mulia sekaligus sulit itu, lanjutnya, Guru malah “lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan”.

Menyoroti tugas administratif yang banyak menyita waktu para Guru selama ini, Nadim mengatakan “Anda (Guru) ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas”.

Ia meyakini bahwa, sebenarnya banyak Guru yang mengingkinkan perubahan di lembaga pendidikan kita.  Mereka sangat tahu tentang persoalan siswa, pendekatan apa yang harus dilakukan untuk merespon perubahan dan sebagainya. Namun, apa boleh buat mereka tersandra oleh aturan dan administrasi yang banyak menyita waktu dan tenaga mereka. 

Oleh kerena itu, Nadim dalam pidato itu, mengusung konsep kemerdekaan belajar di Indonesia. Hal itulah yang kurang lebih akan Ia perjuangkan kedepanya sebagai Menteri Pendidikan. Untuk itu, Ia mengajak para Guru untuk mulai mengambil langkah perubahan. Sekecil apapun langkah perubahan itu diusahakan. Perubahan kecil itu bisa mulai dari ruang kelas.

Setidaknya, ada lima hal yang bisa dilakukan Guru mulai dari rung kelas menurut Nadim, yaitu 1) ajaklah siswa berdiskusi, bukan hanya mendengar, 2) berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas, 3) cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas, 4) temukan sesuatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri, 5) tawarkan bantuan kepada Guru yang sedang mengalami kesulitan.

Di akir pidatonya, Nadim percaya bahwa sekecil apapun perubahan itu, kalau semua Guru melakukan perubahan itu, secara serentak, maka kapal besar yang bernama Indonesia ini pasti akan berjalan.

Yang Dilupakan

Apa yang disampaikan Nadim dalam pidato itu, perlu di apresiasi. Namun  sekaligus perlu dikritisi. Diapresiasi karena isi pidato Nadim seperti mewakili isi hati para Guru selama ini. Dikritisi, kerena pidato itu juga belum sepenuhnya mengungkap masalah Guru. Ada hal lain yang lupa disampaikan oleh Nadim, dalam pidatonya. Entah ini sengaja atau tidak.

 Kalau bicara persoalan Guru selama ini, ada hal penting lagi yang perlu dipikirkan Nadim sebagai Menteri Pendidikan. Hal itu ialah soal kesejahteraan Guru. Soal upah Guru. Terlebih khusus guru tidak tetap (GTT/honorer). Nadim lupa bahwa masih banyak Guru honorer di daerah dan plosok negeri ini, yang menerima upah jauh di bawah UMR (upah minimum regional).

Nadim mungkin tidak tahu, bahwa para Guru honorer hanya menerima  gaji 700 ribu sebulan atau malah ada cuman menerima 300 ribu sampai 500 ribu rupiah saja. Lebih parah lagi, upah itu, kadangkala mereka terima dalam kurun waktu tiga bulan sekali. Lalu pertanyaanya, bagaimana para Guru itu bisa hidup?. Tidak ada acara lain, selain mereka harus mencari pekerjaan sampingan, untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup. Kita banyak menyaksikan Guru honorer yang harus mencari tempat les di luar jam sekolah, tentu bagi guru yang tinggal dikota biasanya. Atau bagi Guru yang bekerja dikampung-kampung, biasanya mereka harus bertani atau memelihara ternak untuk bertahan hidup.

Apa yang disampaikan Nadim dalam pidatonya, belum sepenuh lengkap mengungkap persoalan Guru. Ia hanya tahu mengajak, kalau tidak dibilang menyuruh para Guru untuk berbuat perubahan di lembaga pendidikan, sementara Ia, dalam posisinya sebagai pemangku kepentinggan belum memberikan peryataan tegas soal bagaimana memenuhi hak guru kedepanya.

Saya tidak tahu, apakah Nadim sadar atau tidak, bahwa untuk menjadi Guru yang kreatif, yang seratus persen energinya untuk mendidik siswa, dibutuhkan Guru yang perutnya harus sudah “terisi”. Guru juga membutuhkan makan. Mereka mempunyai keluarga yang harus di penuhi kebutuhanya. Selama kebutuhan dasar itu belum dipikirkan jalan keluarnya oleh Nadim sebagai pemerintah, saya tidak yakin para Guru honorer itu mampu memfokuskan dirinya untuk membawa perubahan di lembaga pendidikan, sebagaimana yang diharapkan oleh Nadim dalam pidatonya.

Status Profesional Guru Perlu Dipertegas

Sebagai jalan keluar, persoalan upah Guru ini perlu keseriusan pemerintah. Keseriusan itu harus sampai pada tataran regulasi. Kalau kita sejenak melihat UU no.14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, sebenarnya sudah jelas, bahwa profesi Guru merupakan jabatan professional. Dalam UU itu dijelaskan, sebagai tenaga professional, Guru dituntut harus memiliki beberapa kompetensi yaitu, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesi dan kompetensi sosial. Dalam hal upah, UU itu menjamin, Guru memperoleh hak berupa gaji pokok, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan tambahan yang terkait tugasnya sebagai Guru.

Persoalanya adalah, amanat UU itu tidak pernah terlaksanakan di lapangan, khususnya bagi mereka yang status sebagai Guru honorer. Maka, ada dua upaya yang memungkinkan bisa dilakukan, pertama dengan melakukan evaluasi Implementasi dari UU tersebut. Kedua, mekanisme evaluasi itu bila perlu membuat peraturan turunanya. Misalnya dengan perarturan Menteri. Sehingga mengikat para pimpinan lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta.

Peraturan itu nanti akan mempertegas bahwa, Guru sebagai jabatan professional dalam hal pekerjaan, juga harus professional dalam hal upah yang mereka terima. Konsekuensi logis dari peraturan itu, bagi pemerintah atau Yayasan swasta yang memiliki sekolah, wajib memberikan upah Guru sesuai yang sudah ditentukan tersebut. Tidak bisa pemerintah atau Yayasan pemilik sekolah, menuntut Guru untuk professional dalam hal bekerja, namun mereka sendiri tidak professional dalam hal memberi upah Guru. Misalnya, ada upah minimum Guru. Atau minimal mengikuti upah UMR.

Jika hal itu bisa dilakukan, maka apa yang disampaikan Nadim dalam pidatonya, menemukan langkas praksisnya. Ada keseimbangan antara tuntutan kerja Guru, dengan upah yang mereka terima. Namun, kalau itu tidak dilakukan, pidato Nadim tidak lebih dari retorika belaka yang selalu di dengar oleh para Guru tiap tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu Nadim.

Oleh : Yeremias Mahur, Mahasiswa UNESA


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *