Aan Anshori : Ketakutan dan kesalahpahaman saya terhadap Tionghoa mencair setelah ketemu Gus Dur

227 0
aan anshori

Saya tidak punya teman Tionghoa sejak kecil hingga masuk kuliah. Jika dihitung lamanya sekitar 19 tahun. Hal ini nampaknya merupakan kewajaran
bagi warga Kauman, desa tempat saya lahir yang jaraknya 13an kilometer arah timur kota Jombang Jawa Timur.

Kauman bukanlah wilayah terpencil. Sebaliknya, Kauman bisa dikatakan desa dalam kategori paling terhormat. Tujuh belas desa di kecamatan saya,
Mojoagung, selalu menjadikan Kauman sebagai kiblat urusan keagamaan. Saya masih ingat setiap akhir Ramadlan, banyak orang dari desa sekitar
berbondong-bondong ke Masjid kami untuk menunggu fatwa apakah besok berlebaran atau tidak. Pendek kata, Kauman adalah imam bagi 17 yang lain.

Apa menariknya Kauman? Saya tidak tahu pasti. Namun desa kami terbilang unik untuk ukuran desa urban di jantung kota kecamatan. Tidak ada satupun warga Kauman yang non-muslim, tidak juga berketurunan Tionghoa.

Baca juga : Dibalik terbitnya buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”, Aku berlutut di hadapan Cino Suroboyo

Jika di desa sekitar –misalnya Gambiran, Kademangan, atau Mancilan -non-muslim bisa menjadi penduduk dan memiliki properti, maka hal itu tidak
berlaku di Kauman. Entah apa sebabnya. Saya tak pernah menanyakan hal ini kepada kedua orang tua.

Sebelum Kiai Abdullah Sadjad meninggal dunia, teman baik Bapak saya ini hanya tersenyum meringis saat saya sodori pertanyaan kenapa Cino dan Kresten tidak ada di Kauman. “Aku yo gak eruh, An. Wis tekok konone yo ngunu. Kene garek nglakoni ae,” jawabnya.

Meskipun demikian, saya masih ingat pernah punya tetangga Kristen, namanya Pak Sali seorang angkatan laut. Ia dan keluarganya mengontrak rumah Bude Is sekitar 5 meter barat rumah saya. Mbak Pur, putri sulung pak Sali berpacaran dengan Cak Moh-Ginjo hingga berlanjut ke pelaminan. Tentu setelah perempuan tersebut masuk Islam terlebih dahulu. Seingatku, tak lama kemudian, keluarga pak Sali pindah ke Mancilan. Sejak saat itu, tak pernah lagi aku jumpai non-muslim atau Tionghoa tinggal di lingkungan kami.

Tionghoa pertama yang berinteraksi dengan saya adalah perempuan tua berdandanan kucel, suka membawa keranjang penuh uang, yang hampir tiap pukul 11 siang melewati lapak ibu saya di Pasar Mojoagung. Ya, hampir tiap hari. Panggilannya Cik Nik, pemilik lapak sembako tempat ratusan pedagang kecil (pengecer) Jawa membeli dagangan, termasuk ibu saya.

Secara personal, kala itu, Cik Nik merupakan gambaran tepat bagaimana sosok Tionghoa dijejalkan ke memori saya; pelit, tidak ramah, cuek, bicaranya straight-forward, hidupnya hanya untuk urusan harta. Beberapa Tionghoa yang saya temui saat kecil kebanyakan seperti itu. Saya tidak suka dengan mereka dan mulai menggebyah uyah semua Tionghoa.

Pernah saya mengagumi perempuan berwajah oriental saat terlibat dalam pralantas (Pramuka Lalu Lintas) sekolah dasar se-kecamatan Mojoagung. Jika tidak salah, ia berasal dari SDK Wijana. Sekolahnya jadi satu dengan gereja, persis di seberang desa saya. Jika saya naik pohon jambu belakang
rumah, gedung gereja dengan salib di atasnya begitu tinggi menjulang. Ia meresahkan sekaligu memprovokasi saya dan teman-teman. “Nek aku duwe bedil, wis tak bedil iku tekok kene,” kata saya kepada teman-teman sepermainan sembari menunjuk gedung itu.

Baca juga : Adven Sarbani : Jadi China Itu Biasa Saja, Apa yang Istimewa ?

Kebencian saya terhadap Tionghoa, gereja dan salib begitu dominan kala itu. Sebagai Muslim, saya merasa perasaan ini adalah hal “wajar”; cara terbaik melindungi agama saya adalah dengan mengunggulkannya seraya menyerang yang lain. Parah memang.

Saya tidak tahu dari mana situasi psikologis seperti ini bertumbuh. Situasi ini membuat saya secepatnya memadamkan kekaguman terhadap perempuan oriental itu.

Terhadap hampir semua Tionghoa seperti Cik Nik, diam-diam saya kerap merasa kasihan sebab saya melihat kandidat kuat penghuni neraka.  “Bersenang-senanglah di dunia. Kalian akan teronggok di dasar neraka karena tidak memilih Islam,” batin saya.

Cik Nik bukanlah satu-satunya sasaran amuk psikologis saya. Jika ramadhan tiba dan seusai sahur dan shalat Subuh, saya dan beberapa kawan sebaya kerap kali bergerombol menyusuri jalanan besar dari Masjid Jamik menuju gedung Bioskop Basuki. Terdapat banyak toko di rute tersebut. Pemiliknya? Jelas Tionghoa.

Kami sering berulah. Memukul-mukul gerbang toko sembari berteriak-teriak menantang, merusak bel elektriknya, atau mencoreti tokonya.

Rencana jahat a la anak kecil selalu terlintas untuk dijalankan saat bertemu dengan Tionghoa atau propertinya. Kami pernah bergerombol masuk Toko SK kala banyak pengunjung. Tujuannya agar bisa memiliki barang milik mereka secara curang. Anak-anak Tionghoa yang melewati gerombolan  kami selalu kami bully, “Woi Cino gosong!”, ” Woi Cino gak sunat!”. Tidak terhitung berapa jumlah anak Tionghoa yang pernah kami pukul kepalanya. Juga kami mintai uang dengan paksa. Jika mereka menantang, maka akan kami tawur.

Saya tahu, yang demikian merupakan kenakalan anak kecil di tahun 80an awal. Sepanjang yang saya bisa ingat, saya merasa puas ketika bisa membikin mereka sengsara. Saya merasa kami berbeda dengan mereka dan tidak ada alasan untuk berbuat baik terhadap mereka. Untuk apa berbuat kebaikan pada orang yang secara terang berbeda –baik fisik bahkan agama? Bagi saya, mereka terlihat aneh dengan kulit putih dan mata sipitnya.

Sungguhpun diselimuti ketidaksukaan terhadap Tionghoa, kami kerap menikmati wayang Potehi di Klenteng Bho Hway Bio yang berjarak hanya 500 meter barat desa kami. Setiap bulan Agustus, klenteng tersebut memainkan lakon hampir sebulan penuh, dari sore hingga malam hari. Kami diwanti-wanti orang tua agar tidak coba-coba masuk ke dalam klenteng. Cukup di halamannya saja. “Jangan pernah masuk. Nanti kamu nggak selamat. Bisa-bisa jadi anjing dan nggak bisa pulang,”

Bertahun-tahun saya memegang teguh petuah tersebut sungguhpun rasa penasaran terus mengerubungi saya, “Apa yang ada di dalam klenteng itu?Jahat sekali menjadikan anak kecil sebagai anjing?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghampiri.

Titik Balik

Saat kuliah dan berkecimpung di dunia gerakan lintas iman, ketakutan dan kesalahpahaman saya terhadap Tionghoa pelan-pelan mencair. Saya harus katakan sosok dan kiprah KH. Abdurrahman Wahid, akrab disapa Gus Dur, berperan sangat dominan, meskipun saya tidak pernah bertatap muka
dengannya.

Baca juga : Michael Andrew : Kegalauan Identitas Pemuda Tionghoa-Indonesia

Melalui berbagai tulisan terkait sepak terjangnya yang saya baca di akhir SMP dan SMA, saya seperti menerima antibiotik atas mencokolnya sikap radikal yang tumbuh sejak lama. Prosesnya memang pelan sekali, namun saya masih bisa rasakan hingga saat ini. Kiprah Gus Dur benar-benar membuyarkan imaji saya tentang seorang kiai pada umumnya yakni sosok yang lebih asyik duduk, ingin dilayani, ogah membela yang tertindas dan kerap bertindak laksana dewa dengan pedang agama. “Bagaimana mungkin ada sosok berdarah sangat biru di kalangan Islam Sunni Indonesia mau bersusah payah membela kelompok minoritas dan tidak mempedulikan cibiran atas tindak-tanduknya? Cuk,” begitulah saya kerap memuji Gus Dur.

Sekira tahun 1996 saya baca pembelaannya terhadap pasangan Khonghucu yang dihalangi perkawinanya. Pasangan itu menggugat ke pengadilan, dan entah bagaimana ceritanya saya membaca Gus Dur pernah ikut duduk di ruang sidang, sebagai suporter.

Bagi saya, kedatangan Gus Dur di bangku persidangan adalah hal sangat mengagetkan. Ia pada waktu menjabat sebagai Ketua PBNU, pemimpin dari
jutaan kaum sarungan. Saya melihat itu sangat heroik. Belum pernah saya jumpai model kiai seperti itu. “Aku cocok berimam ke dia!” teriak saya dalam hati. Jujur saja, saya tidak sepenuhnya memahami semua maksud dan intensi cara pandang maupun langkahnya. Namun entahlah, hal itu tidak membuat saya risau. Rasanya seperti mendengar the Flower Duet Anna Netrebko dan Elina Garanca —tidak paham artinya namun jiwa kita tenang tertindih melodinya.

Gus Dur menjadi energi sekaligus panopticon saya dalam menapaki dunia pergerakan akhir 90an. Setelah relatif agak “sembuh”, perjumpaan pertama saya dengan Tionghoa Jombang terjadi sekitar awal tahun 2000. Saya berinteraksi dengan Ma Tje Ming (sudah lama berstatus almarhum). Dia adalah aktifis Tionghoa pertama yang saya kenal gigih memanfaatkan momentum reformasi untuk menyadarkan banyak Tionghoa di sana agar ikut bergerak. Pemilik nama Setiawan Masbudi ini pernah mengajukan gugatan ke pengadilan agar namanya dikembalikan lagi menjadi Ma Tje Ming. Namun sayang tidak berhasil. Perjumpaan saya dengan Tionghoa kemudian menggelinding seperti bola salju yang terus membesar.

Sungguhpun demikian, saya tetap belum tahu secara persis mengapa tidak sedikit orang Tionghoa memilih hidup tidak membaur dan terkesan individualis. Apakah represifitas rezim Orde Baru menjadi faktor utama atau ada sebab lain? Apa yang sesungguhnya terjadi pada masa lalu mereka sehingga demikian? Saya tidak terlalu peduli sampai kemudian saya menemukan buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik” karya alm. Benny Gatot Setiono.

Sebagai orang Jawa beridentitas Muslim-Sunni-Nahdliyi, saya merasa dada ini sangat sesak kala menemukan rentetan panjang penderitaan rasial terburuk dalam sejarah Nusantara dan Indonesia modern; penjarahan, pembakaran, pembunuhan, perkosaan massal, sunat paksa, perbudakan, dan stigmatisasi hingga saat ini.

Maafkan kami.

*Oleh : Aan Anshori | IG : @gantengpolnotok. Penggagas buku narasi memori “ Ada Aku Di Antara Tionghoa dan Indonesia”. Kordinator Jaringan GUSDURian  Jawa Timur (2012-2014) dan  JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi). Saat ini sedang studi S2 Hukum Islam di Univ. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Email : aan.anshori@gmail.com

**Naskah ini diterbitkan dalam buku “Ada Aku di Antara Tionghoa Indonesia”.  Atas kesepakatan, dipublish melalui www.idenera.com  sementara waktu untuk kepentingan kegiatan Bedah Buku yang akan diselenggarakan tanggal 10 April 2018. 

*** Mohon untuk tidak membagikan link dan atau meng-copy sebagian atau seluruh teks ini kerena terikat hak cipta pada penerbit


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *