Kasus penembakan yang dilakukan oleh salah satu anggota POLRI lantaran mabuk dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, di antaranya seorang anggota TNI-AD, di Ibukota Jakarta sungguh memprihatinkan.
Bukan semata-mata karena terjadi di tengah pandemi, melainkan juga mengingat penembakan itu termasuk bentuk dari penyalahgunaan dari kekuasaan. Itu artinya, kasus itu merupakan representasi dari kekuasaan yang dikontestasikan tanpa kendali alias liar dan brutal.
Itulah amok atau amuk yang kerap dirujuk sebagai tradisi atau budaya masyarakat, Jawa pada khususnya. Tak heran jika amok selalu menjadi penanda yang paling mudah dan populer untuk menunjuk pada hal dan masalah yang spontan dan hanya bersifat massal. Padahal amok dapat terjadi di manapun dan kapanpun, bahkan pada siapapun.
Maka, penting untuk diingat bahwa amok, sebagaimana dikaji oleh Denys Lombard (2005), bukanlah bahasa lokal yang sudah ada sejak dahulu kala. Tetapi, kata itu adalah hasil dari rekayasa berbahasa yang bertujuan untuk menggambarkan tiadanya kontrol atau kendali yang mampu mengatasi peristiwa amok tersebut. Dengan kata lain, amok adalah bentuk dari kegagalan berbahasa yang mengakibatkan tidak adanya lagi pilihan lain untuk keluar dari suatu masalah. Maka, dalam kebudayaan Jawa dikenal istilah “ngalah, ngalih, ngamuk” sebagai tanda-tanda yang mengingatkan bahwa ada beragam cara yang dapat ditempuh untuk mencari solusi sebelum pemberontakan diambil sebagai keputusan terakhir. Jadi, amok belum tentu berujung pada kekerasan, apalagi kebengisan. Sebab “ngamuk” tidak selalu bermakna menghabisi segala-galanya, melainkan hanya menunjukkan kekuatan yang masih tersisa untuk mengatakan apa yang menjadi kepentingannya.
Dalam konteks ini, menarik untuk mengambil contoh dari film dokumenter yang berjudul “Jagal” (The Act of Killing). Film yang dibuat antara tahun 2005-2011 dan disutradarai oleh Joshua Oppenheimer bercerita tentang aksi pembunuhan terhadap para pengikut atau pendukung yang diduga berkait dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Utara pada tahun 1965-1966. Film berikutnya yang digarap antara tahun 2010-2012 diberi judul “Senyap” (The Look of Silence). Meski masih berkisah tentang hal dan masalah serupa, namun di film ini sudut pandang yang ditampilkan difokuskan pada salah satu dari keluarga korban pembunuhan. Sementara di film sebelumnya, para pelaku pembunuhan justru menjadi pemeran utama yang ditonjolkan, seperti melalui sosok Anwar Congo dan sahabat dekatnya, Adi Zulkardy.
Baik Congo maupun Adi, beserta anak buahnya yang saat itu masih aktif dalam salah satu ormas kenamaan di Medan, adalah suami atau ayah, bahkan kakek, dari sebuah keluarga yang sudah mapan, terpandang dan juga disegani. Meski saat menjadi jagal lebih dari limapuluh tahun lalu, keduanya hanyalah “calo-calo tiket” di sejumlah bioskop di Medan. Itu artinya, mereka adalah preman-preman lokal yang menggantungkan hidup sehari-harinya pada aksi-aksi ilegal seperti pemerasan atau pemalakan, perjudian, termasuk penjaga keamanan dari lokasi bisnis tertentu. Dalam kajiannya mengenai latar historis, ekonomis dan politis dari film di atas, Benedict Anderson (2013) menemukan bahwa Congo misalnya, yang lebih dari setahun lalu sudah berstatus “almarhum”, bukanlah termasuk “orang kuat” atau berkuasa, apalagi kaya dan jaya, di tahun 1960-an. Dengan perawakan yang kerempeng dan berkulit keling, dia hanyalah bagian dari salah satu organisasi pemuda yang merujuk pada kajian Loren Ryter (1998) menjadi tandingan dari organisasi pemuda dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di akhir tahun 1950-an. Namun, seperti mendapat hembusan angin, di tahun 1965, sesudah pertistiwa G30S atau Gestok pecah, bersama dengan sesama rekannya, dia melakukan pembunuhan yang tidak keji dan bengis, melainkan justru menyenangkan. Artinya, meski leher korban dijerat hanya dengan seutas kawat, pembunuhan itu dilakukan sembari bernyanyi dan berdansa-dansi dengan tanpa sadar. Jadi, baik pelaku maupun korban, sama-sama merasa bahagia karena tidak merasakan apapun juga.
Pertanyaannya, dari mana Congo belajar cara dan gaya pembunuhan seperti itu? Tentu saja dari film-film laga produk Barat/Amerika yang kerap mempertontonkan pembunuhan yang serba cepat, instan dan tanpa rasa apapun. Dari sanalah imajinasi yang tak terduga, apalagi terbayangkan sebelumnya, dapat diwujudkan, termasuk untuk perkara kostum dalam pembunuhan. Dibanding dengan aksi penggal kepala tetangganya yang beretnis Tionghoa dan menenteng serta memamerkan ke tetangganya yang sama-sama Tionghoa misalnya, seperti dituturkan oleh seorang lelaki berusia lanjut dalam film di atas, pembunuhan ala Congo menjadi tampak lebih elegan dan eksentrik. Singkatnya, pembunuhan itu bukan untuk menakut-nakuti sehingga membuat orang lain menjadi takut, tetapi justru memperlihatkan bahwa hal itu adalah takdir yang mesti dihadapi dengan gagah dan berani seperti layaknya seorang jagoan dalam perang. Bukan sosok seperti itu mustahil untuk dikalahkan, meski harus mengorbankan nyawa sesamanya, bahkan nyawanya sendiripun rela dikorbankan?
Maka, kekerasan yang kerap disalahtafsirkan sebagai aksi amok yang bengis dan kejam sesungguhnya perlu segera untuk dikaji ulang agar tidak menjadi latah akademik. Sebab amok tidak selalu menampilkan kekerasan yang keji dan kejam, apalagi bersifat massal. Tetapi, hal itu juga bisa dikerjakan secara personal, namun dampaknya dapat berskala komunal, baik lokal, nasional, maupun global. Salah satu contohnya ada pada sosok para jagal di tahun 1965-1966 yang sampai saat ini masih merasa kebal hukum dan telah mewariskan pemeranan kembali segenap aksinya. Akibatnya, hukum menjadi senyap dan para korban, termasuk pelaku, hanya tinggal dalam trauma atas masa lalu yang tak berkesudahan. Bayangkan saja jika ada salah seorang jagal yang menuturkan bahwa tak ada yang perlu dipersoalkan dari pembunuhan di tahun 1965-1966 karena semua sudah berlalu. Sementara, salah seorang korban yang sudah di penghujung hayatnya masih sedemikian trauma dan hanya mampu mengingat sebuah lagu yang menjadi kenangan di masa mudanya dulu. Miris dan tragis, bukan?
Dalam salah satu kajiannya yang berjudul “Berbahasa”, James T. Siegel (2010) memperlihatkan bahwa kekerasan dapat terjadi hanya karena perihal berbahasa. Terutama berbahasa ibu yang membuat antar suku dapat saling membunuh, atau antar tetangga saling mengucilkan lantaran dianggap tidak tahu adat dan tradisi. Justru lingua franca-lah yang mampu menengahi segala stereotipe yang ada dan beranak pinak dalam masyarakat yang plural/majemuk. Khususnya di pasar atau warung kopi, masyarakat dapat bertemu dan bertegur sapa sebagai sesama berkat lingua franca. Karena itulah, agak aneh jika amok disebut sebagai lingua franca lantaran sama sekali tidak memenuhi dua syarat yang dituntut dan dijadikan tuntunan. Pertama, bahasa itu tidak saling membuat rikuh. Kedua, hal itu tidak saling mencerminkan. Dihadapkan pada kedua syarat itu, mudah ditebak bahwa amok tampak direkayasakan untuk mengundang beragam prasangka yang tidak perlu ditafsir lagi dengan jeli dan waspada. Masuk akal jika kata itu lebih sering dimaknai secara tunggal sebagai ancaman yang berlumuran kekerasan dengan nuansa kekejaman yang tak terbayangkan. Mirip dengan kata “Cina” yang sejak jaman kolonial sudah terlanjur distereotipekan sebagai ancaman yang dengan/tanpa sadar harus dilenyapkan hingga ke akar-akarnya. Bukankah hal itu yang juga dialami oleh kata “komunis”, “kriminal”, khususnya “preman”? Apakah ini hanya kebetulan, atau sesungguhnya hal itu adalah bentuk dari kegagalan dalam berbahasa yang direkayasakan untuk kepentingan politik tertentu?
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan