Catatan berbahasa cina dari suku Cu-Fan-Sih karya Can-yu -kua tahun 1225, dianggap sebagai catatan tertua tentang relasi suku-suku di NTT pada masa lampau dengan pendatang. Hal ini ditulis W.P.Groeneveldt dalam buku Historical Notes on Indonesian and Malaysia, Compilod from Chines Source.
Can-yu -kua juga menyebutkan bahwa Tiwu (Timor) yang kaya kayu Cendana telah mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Kediri dari Jawa. Juga, Fa Sin pada tahun 1436 dalam bukunya Hsing Cang Sheng Lan juga menuliskan bahwa Kehri Timor yang berada di sebelah Timur Tiongkalo, gunung-gunungnya ditumbuhi kayu Cendana dan terdapat 12 pelabuhan yang masing-masing dibawah seorang pemimpin.
Dua catatan di atas menunjukan bahwa masyarakat NTT yang saat itu masih dalam kerajaan-kerajaan kecil sudah berelasi dengan pendatang dari luar. Relasi itu tidak hanya dengan pedagang Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) yang menjadi pusat perdangangan, namun juga dari China dan bukan tidak mungkin juga dari Persia, Gujarat atau Mekah yang dianggap sebagai pintu masuk Islam ke wilayah yang kini disebut Indonesia.
Jadi, tidak salah bila ada yang menyimpulkan bahwa kedatangan Islam seperti halnya Kristen di wilayah NTT terjadi pada abad ke 12. Itu terjadi seiring perdagangan. Ini juga diperkuat dengan beberapa catatan lain yang meyebutkan para saudagar Cina, orang Jawa Hindu dari Majapahit, pedagang Muslim dari Makasar, Jawa dan Gujarat telah berniaga keberbagai pelabuhan di Timor dan pulau sekitarnya.
Kitab Negara Kertagama (1365) juga mencatat Timor dan Solor sebagai bagian dari Majapahit dibawah Hayam Wuruk (1350-1389). Tertulis, pada tahun 1357, Larantuka sebuah bandar kecil di dekat Pulau Solor ditaklukan oleh ekspedisi laskar Majapahit. Dan saat itu, Majahpahit memiliki Patih bernama Gajah Mada (1331-1364) yang diklaim menaklukan Nusantara.
Catatan dalam Kitab Negara Kertagama ini memberi informasi penting karena ini menujukan bahwa sebelum bersinggungan dengan Islam dan Kekristenan, masyarakat NTT saat itu sudah lebih dahulu bersinggungan dengan Hindu dari Jawa melalui Majapahit.
Islam masuk NTT melalui jalur perdagangan, fakta ini cukup jelas. Hal ini terbukti dengan bertumbuhnya Islam di kawasan pesisir pantai wilayah Pulau Solor, Alor, Ende dan Manggarai. Solor saat itu merupakan jalur pedagangan strategis. Dan ketika ekspedisi Portugis datang, daerah itu sudah dikuasai saudagar Islam dengan dukungan Sultan Ternate.
Saat perang melawan Portugis, orang-orang Islam di Solor juga mendapat bantuan pasukan dari Kesultanan Ternate. Ketika seorang misionaris Portugis Pastor Baltazar Diaz, SJ mengunjungi Solor tahun 1559, ia menemukan sebuah masjid dan komunitas muslim di Lohayong, Solor.
Hamka, seorang ulama dan sastrawan Indonesia berpendapat bahwa perkembangan islam di NTT berasal dari Giri (Jawa Timur). Ini dibukitkan dengan adanya catatan tentang orang dari Alor, perintis agama Islam di sana yang belajar Islam di Ampel (Kawasan Sunan Ampel), Surabaya.
R. Rynders, pejabat Belanda di Alor saat itu dalam catatannya juga menyebutkan bahwa agama Islam di Alor pertama kali ada di pesisir Kerajaan Alor, Kerajaan Kui dan Pantar. Ia juga menyebutkan kalau agama Islam dibawa oleh orang dari Jawa, Bugis dan Ternate.
Namun ada cerita lain yang berkembang di Alor Kecil yang menunjuk peran seorang asal Minangkabau dan saudagar dari Jawa bernama Saku Bala Ouli. Sedangkan di Alor besar, Islam masuk melalui Alor Kecil. Ada juga orang dari Ternate yang bernama Ilyas Gogo dan Karim Yunus. Sedangkan di Pantar ada orang Ternate bernama Yau Gogo, Kina Gogo, Sulaiman Gogo, Ilyas Gogo, Karim Yunus dan Abdullah yang menjadi perintis Islam.
Manggarai juga dikenal sebagai pintu masuk Islam ke daratan Flores. Masuknya Islam ke Manggarai erat kaitannya dengan pengaruh Sultan Bima dan Raja Goa di Makasar. Raja Goa yang telah beragama Islam memaksa pemimpin lain di bawah kekuasaannya memeluk Islam termasuk Raja Bima. Kerajaan Bima kemudian berganti jadi Kesultanan Bima. Itu terjadi setelah Sultan Abdul Hamid, putra Sultan Abdul Karim Muhammad Syah diangkat jadi Sultan Bima IX tanggal 26 Mei 1792. Saat itu Manggarai masih jadi perebutan antara Bima dan Goa.
Peristiwa penting yang menjadi tonggak keislaman di Manggarai yaitu penandatanganan Perjanjian Reo (Riawu) tahun 1785 antara wakil Bima Bumi Luma Rasanae’e Abdul Rahman dan Muhammad Ali Syah dari Makasar. Dari 25 poin perjanjian itu, poin 11 penting bagi perkembangan Islam di Manggarai. Poin 11 itu berbunyi “ jika terjadi perkawinan campur antara seorang lelaki/perempuan Bugis, Makasar, Bima atau Melayu dengan lelaki/perempuan Manggarai, maka anak-anak mereka bukan kafir melainkan Muslim”. Pengaruh Goa di Manggarai baru berakhir tahun 1669 setelah ada perjanjian Bungaya.
Masuknya Islam ke pulau Timor dapat dilacak berdasarkan sejarah Raja Wehale. Setelah pasukannya kalah dalam pertempuran melawan Portugis di Solor dan Timor, ia tidak lagi didukung kerajaan lain di pesisir yang lebih memilih dibabtis jadi Kristen. Termasuk Ratu Mena. Sebagai reaksi atas hilangnya dukungan itu, ia memilih menjadi Islam. Hal itu dilakukan agar mendapat dukungan Raja Muslim Tallo dan kaum Muslim Makasar dan Bugis yang merupakan lawan yang sulit ditaklukan Portugis.
Ada juga sumber lain berdasarkan catatan seorang missionaris bernama Pater Chistovao Rangel yang tiba di Silabau tahun 1633. Ia membabtis Raja Silabau serta memberinya nama Christovao. Namun setelah beberapa waktu berkarya, ia mengaku diracun oleh orang Muslim. Pater Christovao kemudian lari ke Makasar dalam keadaan sekarat.
Kupang merupakan salah satu pusat perkembangan Islam di NTT, terutama setelah Belanda datang untuk bersaing dengan Portugis. Berdasarkan Almanak van Nederlandsch Indie, disebutkan bahwa pada tanggal 9 November 1749 ada 60 orang pasukan dari Solor yang dipimpin Atu Laganama membantu Belanda mengalahkan pasukan Tropas (Portugis Hitam/Mestizo) di Penfui, dekat Kupang. Atu Laganama merupakan seorang muslim yang juga melawan Portugis saat membangun benteng di Lamakera.
Atas jasanya membantu pedagang Belanda, Atu Laganama mendapat keleluasaan untuk tinggal di Kampung Solor. Ia menjadi pemimpin dan imam bagi komunitas muslim yang saat itu berjumlah sekitar 300 orang. Ia juga membangun sebuah Masjid di Batu Besi. Baru pada tahun 1772, seorang bernama Abdurrahman datang dari Benggala membantunya. Antara tahun 1825-1830 ada ulama dari Pontianak, Syeikh Abu Bakar bin Syarif Abdurrahman yang juga datang ke Kupang.
Faktor lain yang ikut mendorong tumbuhnya komunitas Islam di Kupang yaitu setelah Belanda menjadikan Kupang sebagai tempat pengasingan bagi tokoh “pemberotak”. Tercatat ada A.H Mahmud Basyah Gandakusuma dan R. Soetomo yang dituduh terlibat perang Diponegoro (1825-1830). Dipati Amir Bahrein dan Dipati Hamzah Bahrein dari pulau Bangka. Pada tahun 1888-1892, Kiyai Haji Muhamad Arsyad bin Alwan, K.H. Abdul Salam dan Haji Mansyur juga diasingkan. Ketiganya ulama dari Banten, Jawa Barat. Mereka tinggal di Kupang selama 25 tahun. Selama diasingkan, mereka turut berperan dalam penguatan pengetahuan tentang Islam bagi umat muslim di Kupang.
Catatan yang disampaikan di sini tentu belum seluruhnya dan juga tidak cukup lengkap. Keterbatasan literatur salah satu alasannya. Hal yang mungkin bisa dilakukan untuk memperkaya informasi adalah mendengar cerita lisan yang hidup di tiap komunitas.
Penulis berharap catatan ini memberikan informasi pembuka bagi yang mau mendalami sejarah masuknya Islam di NTT. Selain memperkaya informasi, catatan ini juga bisa memberikan wawasan baru terkait relasi dan dinamika perjumpaan antar agama di Indonesia.
Sumber :
Philipus Thule,dkk., “Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT”. Ledalero, 2015.
“Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur”, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan