Driyarkara : Mengkritik, Mengoreksi dan Memperbaiki Sosialitas Preman

324 0

Soe Hok Gie memberikan julukan “filsuf dalam arti sebenarnya” padanya. “Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi, dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta kepastian-kepastian kecil ” .

Begitulah  Gie menggambarkan sosok Driyarkara yang dikaguminya.

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ,  lahir di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo, 13 Juni 1913 dan  meninggal  pada usia 53 tahun di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 11 Februari 1967. Namanya kemudian diabadikan sebagi nama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

Sampai tahun 1951 nama Driyarkara nyaris tidak dikenal luas. Sebagian besar waktunya habis untuk studi. Selama masa studinya itu ia menulis catatan harian. Tercatat dalam perode waktu 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950, ia  rutin menulis persoalan aktual dan mendesak yang dihadapi rakyat Indonesia.

Baca juga : Prof. Dr. Frans Magnis Suseno : Saya masih optimis dengan Islam Indonesia

Driyarkara memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi  tentang filsafat Malebranche,  setebal 300 halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah asli  disertasinya tersimpan di Roma, baru tahun 1954 terbit versi ringkas  setebal 40 halaman dalam bahasa Indonesia.

Filsafat
Buku biografi Driyarkara, Driyarkara Si Jenthu karya Frieda Treurini, terbitan Kompas.

Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche,  Driyarkara mendalami persoalan kemanusiaan dalam situasi bersama masyarakat. Melihat kehidupan bangsa dan negara, serta proses jatuh bangun  menjadi Indonesia. Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos.

Pemikirannya dikenang sebagai ajaran pokok Driyarkara, “manusia adalah kawan bagi sesama”. Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini (homo homini socius). Pikiran homo homini socius ini dipakai untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitas preman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam homo homini lupus (sesama adalah serigala bagi manusia).

Terbitnya majalah Basis tahun 1951,  menjadi pebuka bagi Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Awalnya ia menggunakan nama pena Puruhita, kemudian hari baru menggunakan nama lengkap Driyarkara. Tulisannya bergaya percakapan, menghantarkan pembaca dalam permenungan filosofis.

Baca juga : Mengenal Emmanuel Levinas, Pengubah isu utama filsafat kontemporer

Driyarkara pernah menjabat sebagai Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, cikal bakal IKIP Sanata Dharma. Pidato pengangkatnya sebagai dekan tentang Kepentingan Pendidikan Guru memperoleh tanggapan luas. Sejak saat itu (1955),  ia tidak hanya dikenal sebagai filsuf namun juga seorang ahli pendidikan.

Melalui tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, ia memberikan pencerahan tentang proses pencarian jati diri bangsa. Ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, ia menjadi pembela terdepan hak mahasiswa dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu, Ia tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna.

Prof. Dr. Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1985–1993 menggolongkannya sebagai pemikir yang selalu risau atas realitas masyarakat. Untuk menggenapi cita-cita Driyarkara  mendirikan sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum, pada tanggal 2 Februari 1969, tepat 2 tahun setelah Driyarkara meninggal, di sebuah ruang tamu di Susteran Theresia Jalan H Agus Salim, Jakarta,  Sekolah Tinggi Filsafat bernama Driyarkara dirintis. Prof. Dr. Fuad Hassan dan Prof. Dr. Slamet Iman Santosa sebagai teman, berjasa mewujudkan mimpinya itu.  Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta sampai sekarang berdiri dan menjadi lembaga pendidikan filsafat terkemuka di Asia.

Filsafat
Kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jl. Cempaka Putih Indah 100A, Jakarta. Foto : majalahintro.wordpress.com

Franz Magnis-Suseno SJ, menyatakan Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik. Tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga : Neratalk : Agama di Indonesia kehilangan sensitifitas sosial

Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebutnya sebagai pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara,  memberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Pemikirannya masih relevan untuk kita gunakan sebagai cara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos kebuntuan dalam setiap persoalan bangsa Indonesia.

*Diolah dari berbagai sumber.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *