Sebelum menuju pokok permasalahan ekologi, saya akan menjabarkan dahulu kenyataan di balik gagasan kebaikan bersama yang sering didalilkan oleh pihak-pihak yang melakukan pembangunan. Kebaikan bersama adalah tujuan mulia untuk mencapai keadaan yang ideal.
Keadaan ideal yang tentu saja dicita-citakan oleh semua pihak, baik mayoritas ataupun minoritas, kuat ataupun lemah. Kebaikan yang memeluk segala aspek. Kebaikan yang tidak menimbulkan korban. Kebaikan absolut tanpa ada yang perlu lagi ditanyakan dan diragukan.
Apakah kebaikan bersama (common good/bonum commune) hanya utopia?
Saya yakin para realis garis keras akan berpendapat bahwa gagasan tersebut adalah utopia yang indah. Keindahan yang hanya ada di ruang-ruang akademisi serta diskusi saja, tidak ada dalam aksi. Kerena memang mewujudnyatakan gagasan indah tentang common good/bonum commune tampaknya mustahil.
Jika tak percaya, coba telusuri pembentukan paradapan manusia dari segala aspek. Baik itu bentuk pemerintahan, agama, budaya, teknologi dan lain sebagainya. Di balik keberhasilan pengejawentahan kebaikan bersama, pasti ada yang dikalahkan dan selalu ada korban, bahkan ada darah yang tertumpah.
Yesus atau Isa Al-Masih tokoh utama dalam ajaran Kristen menolak segala kekerasan dan perang untuk menghapuskan penindasan, juga realistis bahwa ajaran cinta kasih yang Dia bawa dari surga juga perlu pengorbanan. Demi kebaikan bersama Dia mengorbankan dirinya sendiri. Dia menyerahkan tubuh dan menumpahkan darahnya sendiri dan pengikutnya demi kebaikan bersama.
Hal yang hampir mirip dengan apa yang dilakukan ibu-ibu Kendeng dalam konflik pembangunan pabrik Semen Indonesia di Kawasan Kendeng, Blora Jawa Tengah. Mereka memasung kakinya sendiri dengan semen. Aksi yang kemudian menjadikan Yu Patmi, salah satu Ibu yang ikut aksi gugur sebagai martir.
Lantas apakah yang demikian masih dapat dikatakan bahwa untuk mencapai kebaikan bersama tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau dikorbankan ?. Perlu keberanian untuk menjawab hal tersebut. Dan mereka yang berani menjawabnya sudah terbukti memenangkan seperempat dunia. Sama persis seperti yang di ungkapkan Pramoedya Ananta Toer.
Melihat common good dalam konflik pembangunan dan ekologi
Kita harus memahami secara utuh, apa itu kebaikan bersama?. Bahwa di balik itu selalu ada pihak yang dikorbankan baik itu secara lahiriah ataupun batiniah. Korban kehilangan kapital sosial maupun kapital finansialnya. Kebaikan bersama harus didalilkan secara utuh, demi kebaikan bersama itu sendiri. Saat ini dalil kebaikan bersama yang tidak utuh tersebut digunakan oleh pihak-pihak untuk melakukan bahkan memaksakan pembangunan. Mereka menggunakan dalil kebaikan bersama untuk membungkus pembangunan yang sebenarnya merusak ekosistem. Banyak kalangan memprotes namun mereka tetap setia pada dalil kebaikan bersama, yang mereka percayai.
Awal bulan Agustus lalu saya berkunjung ke rumah orang tua saya di Jogja, tepatnya di daerah Kalasan. Saya menyempatkan diri ngobrol dengan penduduk disana, rata-rata dari mereka sudah sepuh, berumur 50 tahun keatas. Kami berbincang tentang satu topik yaitu bandara baru Jogja yang dibangun di Kulon Progo.
Penduduk yang saya temui merasa iba, terkait peristiwa penggusuran paksa di Desa Temon yang dilakukan oleh Angkasa Pura (Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelolah bandar udara di Indonesia). Red ). Angkasa Pura selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat dan Sultan sekaligus Gubernur DI Jogjakarta melaksanakan pembangunan tersebut atas dasar kebaikan bersama. Mereka mau meningkatkan jumlah turis baik domestik maupun internasional. Harapannya roda perekonomian Jogja berputar lebih kencang dan kemudian meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jogja dan sekitarnya
Kita harus berani mengakui bahwa di setiap pembangunan pasti ada pihak yang dirugikan dan korbankan. Pun demikian jika tidak ada pembangun, pasti ada potensi dan peluang yang tidak dimanfaatkan. Kedua belah pihak harus berani mengakuinya dengan demikian kiranya kebaikan bersama dapat diraih bukan berarti tidak ada pihak yang dirugikan namun karena sama-sama ikhlas dan menghormati masing-masing pihak.
Pihak Angkasa Pura harusnya secara jujur dan terbuka mengakui bahwa apa yang pembangunan bandara di Desa Temon memang merugikan masyarakat desa tersebut. Sebaliknya masyarakat Desa Temon juga harus mengakui bahwa bandara yang akan dibangun di desanya dapat memaksimalkan potensi wisata Jogja dan sekitarnya. Dengan sama-sama menyadari konsekuensi baik dan buruk tersebut kiranya kebaikan bersama dapat digapai.
Namun pada kenyataannya selalu berat sebelah. Pihak Angkasa Pura benar-benar tak mau tahu kerugian yang diderita penduduk yang tergusur. Mereka menerapkan logika hukum yang dianggap sesat oleh beberapa kalangan yaitu konsinyasi. Konsinyasi adalah ganti rugi dari pemerintah dianggap sudah diterima walapun pihak yang menerimanya menolak. Kerena ditolak warga, uang ganti rugi tersebut dititipkan ke Pengadilan Negeri setempat. Mereka tak mau tahu apakah ganti rugi tersebut diambil atau tidak, yang pasti mereka sudah menitipkanya ke Pengadilan Negeri. Pada akhirnya mereka secara sepihak menyimpulkan proses ganti rugi sudah selesai. Karena sudah ada konsinyasi maka penduduk wajib anggkat kaki dari rumahnya.
Ganti rugi yang dipahami disini hanya bersifat lahiriah tanpa melihat aspek-aspek batiniah. Proses ganti rugi yang cacat inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi dan berulang-ulang. Dalam perspektif hukum positif hal ini memang dapat dibenarkan, namun dalam relasi sosial dan budaya ini tidak dapat dibenarkan. Ini adalah ciri budaya hukum negara berkembang, yang proses hukumnya berlogika kepastian dan kemanfaatan, sedangkan keadilan ditempatkan di belakang dan bahkan tidak diperhitungkan. Logika ini hampir jadi acuan sebagian besar praktisi hukum di Indonesia.
Memaknai (ulang) kebaikan bersama
Saya ingat akan ucapan seorang kawan dari Walhi (LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Red.) yang bilang bahwa “kuliah hukum yang ku tempuh tidak ada gunanya”. Kalimat yang kemudian membuat saya bingung sebagai mahasiswa hukum yang pada saat itu giat mempelajari materi-materi kuliah dari dosen. Saya mempelajari Ilmu Hukum salah satu tujuannya untuk kebaikan bersama. Ilmu Hukum sendiri ada untuk kebaikan bersama.
Jadi mari kita sadari betul bahwa disetiap kebaikan bersama pasti akan selalu ada kepentingan yang berbeda. Korban lahir dan batin mungkin akan selalu ada dalam jalan menuju kadaan yang ideal bagi kedua pihak yang berseberangan. Bersebrangan bukan berarti harus bermusuhan, alangkah baiknya kita membangun jembatan untuk menghubungkan keduanya, bukan tembok.
Jembatan itu adalah saja dialog yang terbuka pada fakta dan data, jujur pada tujuan bersama dan benar tanpa kecurigaan. Ketertutupan akan dialog adalah tembok yang menghalangi pencarian akan kebaikan bersama. Kita semua memang begitu berbeda dalam banyak hal, kecuali dalam kemanusian itu sendiri. Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang menghormati kemanusian dan alam, walapun hal tersebut membutuhkan proses yang lama ketimbang membangun atas desakan pasar atau pragmatis kepentingan penguasaan modal dan sumber daya.
Oleh : Leonardus Kristian Hadinolo (email : leo_eiskak@yahoo.com). Alumnus Fakultas Hukum Ubaya. Peserta Sekolah Analisa Sosial (ANSOS) III 2018 yang diadakan oleh Nera Academia di Surabaya. Tulisan ini merupakan bagian dari proses Sekolah Ansos di mana tiap partisipan mengekspresikan keprihatinannya pada isu gender, pendidikan dan lingkungan.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan