Terorisme secara etimologi berarti menakut-nakuti (to terrify). Berdasar KBBI Terorisme berasal dari kata Teror yang didefiniskan sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.
Sedangkan menurut Undang-undang no.15 Tahun 2003 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme, definisi Tindak Pidana Terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara luas.
Terorisme telah mewarnai sejarah perkembangan umat manusia dari waktu ke waktu. Perkembangan terorisme terekam dalam 4 gelombang hingga kini. Terdapat Anarchist Wave, Anti-Colonial Wave, Left-Wings Wave, dan Religion Wave. Berikutnya, fenomena perkembangan ruang siber yang signifikan mendorong asumsi gelombang kelima ‘terorisme siber’ muncul. Namun, gelombang terorisme dengan pendekatan agama masih hangat terlebih di Indonesia.
Mengapa melibatkan perempuan?
Permasalahan terorisme menjadi semakin kompleks dengan keterlibatan perempuan di dalamnya. Hadirnya perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia menjadi topik menarik. Ruang terorisme yang diisi perempuan ini menjadi variasi aksi bagi kelompok terorisme. Stereotip perempuan yang keibuan, penyabar, bahkan rapuh menjadi problematika baru. Hal ini karena perempuan berada dibawah radar pihak berwajib dan masyarakat dalam konteks aksi terror.
Keterlibatan perempuan dalam aksi teror menimbulkan perspektif baru yang dapat diteliti dari segi psikologi dan motivasi yang menjadi latar belakangnya. Partisipasi perempuan dalam aksi teror dilatarbelakangi berbagai motif internal maupun eksternal. Realitas perempuan yang jarang terdeteksi menjadi peluang kelompok teroris dalam melancarkan aksinya.
Perempuan dalam bingkai Terorisme
Dewasa ini, isu gender menjadi topik menarik bagi akademisi dan praktisi. Seseorang dapat memberikan kontribusinya melalui keahliannya dalam suatu bidang tak peduli dia seorang pria atau wanita. Hal ini telah dapat kita amati secara langsung baik dari suatu organisasi, instansi, pekerjaan, dan tidak terkecuali dalam aksi terorisme. Kelompok teroris mulai mengeksploitasi kelebihan-kelebihan perempuan. Tentunya hal ini didorong atas keselarasan tujuan yang dimiliki antara kelompok teror dan individu. Lantas apa yang membuat perempuan dapat terjerumus kedalam dunia terorisme? Apakah perempuan lebih rentan dibandingkan laki-laki untuk bergabung dalam suatu aksi teror?.
Sifat keibuan dan kehidupan nonviolent yang secara tradisional dimiliki oleh perempuan membuat pandangan kita kabur dalam realitas yang konfliktual seperti aksi terror. Akan tetapi sejarah membuktikan keterlibatan perempuan sendiri dalam peperangan dan aksi militan lainnya telah ada sejak abad ke-7 di wilayah timur tengah. Sebuah studi meneliti keterlibatan perempuan dalam terorisme didasari banyak faktor. Beberapa peneliti berargumen bahwa perempuan yang tergabung dalam kelompok teror didasari trauma masa kecil, dorongan dari keluarga (Orang tua, Suami, dan sosok yang dipandang agamis).
Dari sudut pandang terorisme sebagai suatu organisasi, sesuatu yang mendorong suatu organisasi terorisme hingga kemudian merekrut atau menggunakan jasa perempuan dalam operasinya adalah salah satunya perempuan memiliki keahlian decision making yang sulit ditemukan dalam suatu individu. Perempuan dapat mengkoordinasikan sebuah rencana secara kompleks yang dapat membantu aksi terorisme di lapangan dan mengatur skala dampak yang akan diterima oleh masyarakat.
Realitas Perempuan dalam Bingkai Terorisme Indonesia
Dalam realitanya, Indonesia telah banyak terpapar berbagai macam aliran radikal yang membuat Indonesia rentan terhadap paham ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme berbasis agama. Penyebaran ajaran-ajaran menyimpang ini biasanya bisa dengan mudah didapatkan karena pelaksanaan kegiatan sehari-hari, seperti dalam lingkup keluarga, sekolah, dan pertemanan. Tidak terlepas dari jenis kelamin, perempuan Indonesia akhir-akhir ini mulai menunjukkan eksistensinya sebagai pihak yang terlibat dalam aksi terorisme baik dibalik layar atau langsung terjun ke lapangan.
Berikut adalah beberapa aksi terorisme di Indonesia yang menggunakan ‘ikon’ perempuan;
- Dian Yulia Novi merupakan sosok teroris perempuan pertama yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian atas dasar tuduhan akan melakukan bom bunuh diri, didepan Istana Negara pada tahun 2016. Bom bunuh diri ini diduga ditujukan untuk memberi peringatan dan menargetkan para penjaga keamanan kepresidenan.
- Ika Puspitasari adalah calon pelaku bom bunuh diri di Bali pada sekitar tahun 2016 yang berhasil ditangkap oleh polisi sebelum melaksanakan aksinya.
- Puji Kuswati, yakni perempuan pertama di Indonesia yang berhasil melancarkan aksi bom bunuh dirinya di salah satu gereja di Surabaya pada tahun 2018. Puji Kuswati melakukan aksi ini dibarengi dengan aksi suami dan anaknya di 3 gereja berbeda di Surabaya.
- Solimah, merupakan pelaku yang berhasil melakukan bom bunuh diri bersama dengan anaknya di Sibolga, Sumatera Utara tahun 2019. Pelaku melakukan hal ini dengan dasar pemikiran ‘akan cepat masuk surga’ dan juga untuk melindungi sang suami dari adanya penyergapan Densus 88 di kediaman mereka.
- Yogi Shafitri Fortuna, merupakan wanita kedua di Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman bunuh diri bersifat high-explosive didalam lingkungan gereja Katedral Makassar pada tahun 2021 hingga menimbulkan banyak korban.
- Zakiah Aini, merupakan perempuan pelaku teror yang tewas tertembak oleh polisi sesaat setelah ia melakukan serangan seorang diri di kawasan Mabes POLRI pada tahun 2021. Zakiyah Aini diduga sebagai ‘lone wolf’ yang berpaham ideologi dari ajaran ISIS.
Para pelaku teroris perempuan ini biasanya melakukan terorisme karena adanya indoktrinasi/brainwashing, misinterpretasi arti jihad, serta adanya dorongan dari pihak keluarga (biasanya suami). Selain itu dalam beberapa kasus yang sudah terjadi di Indonesia, penargetan perempuan sebagai pelaku terorisme di Indonesia biasanya didasari adanya sifat ‘belas kasih’ dari masyarakat ke sosok perempuan. Jadi hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengorek informasi, hingga memposisikan perempuan dalam kondisi berbahaya namun dengan minimal resiko.
Penanaman Paham Radikal pada Perempuan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengalami paparan ajaran radikal terorisme termasuk pada kaum perempuan. Banyak dari terorisme perempuan di Indonesia hanya menjadi pendamping dari ‘suami’ mereka, namun ada juga perempuan mengikuti ajaran jihad melalui jalan teror murni karena mereka ingin berjihad menurut ajaran mereka. Hal ini bisa tersampaikan akibat tersebarnya ajaran ekstrimis secara online di platform sosial media.
Salah satu contoh aksi yang dapat dibedah adalah pelaku lone wolf yang melakukan aksi teror murni karena alasan kecintaannya pada ajaran islam ISIS yakni Zakiah Aini. ZA melakukan aksi terornya di kawasan Mabes POLRI pada tanggal 31 Maret 2021 sendirian, dengan mengacungkan air-gun ke pos penjagaan. Namun ZA gagal melanjutkan aksi penembakan yang ia lakukan karena ZA tertembak hingga tewas terlebih dahulu. Diketahui motif dari pelaku teror ini adalah terinspirasi dari adanya kejadian bom bunuh diri di salah satu gereja di Makassar, hal ini terbukti dari adanya persiapan perencanaan aksi yang mirip dan letak perbedaannya hanyalah pada organisasi anutan mereka.
Selain itu ada juga aksi yang dilancarkan oleh satu keluarga di Surabaya yang menyerang beberapa gereja. Salah satu dari pelaku bom bunuh diri ini adalah perempuan yang diketahui seorang ibu bernama Puji, bersama dengan kedua anaknya melancarkan aksi bom bunuh diri pada Minggu, 13 Mei 2018 di GKI Diponegoro Surabaya. Puji dan kedua anaknya disebutkan menjadi pelaku terorisme wanita pertama yang berhasil menjalankan aksi terornya di Indonesia. Hal yang hampir sama terjadi juga di Gereja Katedral Makassar, yang melibatkan suami-istri dalam pelaksanaanya. Motif dibalik aksi teror ini diduga karena kedua istri tersebut ingin menurut dan mengikuti jejak sang suami yang menjadi penganut aliran islam ekstrimis yang mereka anut. Selalu dalam perilaku terorisme, kemenangan yang diraih adalah untuk mencapai surga Allah yang sudah dijanjikan oleh pemimpin mereka.
Contoh tersebut merupakan beberapa yang bisa dikatakan memiliki skala teror besar dan menghebohkan di Indonesia untuk ukuran perempuan pada perkiraan tahun 2018 hingga 2021. Nah meskipun seperti yang kita ketahui bahwa akhir akhir ini sudah jarang terdengar adanya berita mengenai teroris perempuan, LP3SE melakukan pendataan bahwa adanya peningkatan eksistensi wanita yang terlibat dalam jaringan terduga terorisme pada kurun tahun 2016-2021. Peneliti Hukum dari LP3SE sendiri mengatakan bahwa pada kurun waktu sebelum 2016, wanita hanya dianggap sebagai pembawa pesan, alat propaganda, dan juga peran pembantu dalam aksi terorisme. Namun seiring berjalannya waktu peran wanita semakin menonjol dan terbukti ‘dibutuhkan’ dalam kelancaran aksi terorisme. Dalam titik ini, Indonesia berada dalam posisi waspada terorisme.
Respon Pemerintah Indonesia
Realita akan peran perempuan dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia dewasa ini mendesak banyak pihak untuk melakukan suatu tindakan konkrit dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran paham radikal pada perempuan Indonesia. Berdasar pada fenomena tersebut maka lahirlah Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian yang merupakan suatu kelompok yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia yang embrionya dari kegiatan Rembuk Kebangsaan tahun 2017. Gerakan ini dibentuk dibawah naungan Departemen Pemuda dan Perempuan di bawah koordinasi Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Departemen ini secara spesifik memiliki tugas untuk mengadakan operasi pencegahan penyebaran paham terorisme dengan melakukan pendekatan terhadap golongan yang dianggap rawan terpapar paham radikal, dalam konteks ini adalah perempuan.
Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian
Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian meyakini bahwa peran perempuan sangat vital dalam pencegahan radikalisme dimulai dari unit terkecil yakni keluarga. Perempuan di satu sisi memang dianggap rentan terpapar radikalisme, namun di sisi lain perempuan juga dapat memainkan peran sebagai agen perdamaian. Gerakan ini tidak berdiri sendiri namun juga berkolaborasi dengan mitra strategis di daerah yakni FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme). FKPT dinilai menjadi mitra yang sesuai karena seringkali mengadakan kegiatan penyadaran dan upaya advokasi tentang nilai-nilai kebangsaan yang mulai memudar. Kegiatan yang biasa dilakukan dengan model seminar, FGD, dan lomba-lomba yang bertemakan kebangsaan di seluruh wilayah Indonesia.
Perempuan Pelopor Perdamaian ini dihuni oleh berbagai perempuan-perempuan dari berbagai lintas agama, suku, dan profesi. Demografi kelompok yang heterogen ini membuat gerakan ini menyebar luas di hampir seluruh provinsi Indonesia. Organisasi seperti Fathayat NU, Muslimat NU, Aisiyah, hingga Bhayangkari merupakan beberapa organisasi yang melebur bersama Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian.
Kegiatan deradikalisasi yang dilaksanakan Perempuan Pelopor Perdamaian dalam menyampaikan pesan dan visinya sangat beragam dan menggunakan pendekatan kontekstual. Seperti salah satu program yang dijalankan di Kalimantan Tengah, warga masyarakat diajak untuk melakukan penyemaian benih ikan ke sungai sembari berdiskusi perihal kebangsaan. Kemudian kelompok pengajian perempuan muslim dan Bhayangkari yang lebih memilih menggunakan metode ceramah dengan menyelipkan pesan-pesan perdamaian, cinta damai dan toleransi secara intrinsik, serta mereka yang memiliki latar belakang akademisi memilih menggunakan metode FGD dan lokakarya untuk upayanya dalam mendukung Visi gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian yang diturunkan dari BNPT secara periodik.
Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian diharapkan agar dapat menjadi platform untuk menyampaikan pesan-pesan penting soal perdamaian dan persatuan yang dirancang oleh BNPT selaku fasilitator utama mereka. Dimana metode pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh berbagai kelompok perempuan yang melebur didalamnya diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan selaras dalam rangka penyampaian pesan sesuai karakteristik peserta. Namun pendampingan dan evaluasi dari BNPT selaku fasilitator gerakan harus semakin ditingkatkan agar pesan utama yang hendak disampaikan lewat jaringan perempuan pelopor perdamaian tetap sesuai dan tidak menyimpang.
Upaya Preventif dan Deradikalisasi Pada Perempuan Perlu digaungkan
Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Kementrian PPPA bahwa perempuan merupakan salah satu golongan yang termasuk ke dalam 3 posisi dalam pusaran terorisme. Pertama sebagai korban, kedua sebagai kelompok yang rentan terpapar, ketiga sebagai pelaku. Faktor pendorong, latar belakang, dan budaya patriarki yang masih kental di Indonesia yang dimiliki oleh perempuan membutuhkan solusi serta pendekatan baru yang secara efektif mampu mencegah perempuan terjerumus ke dalam dunia terorisme.
Gerakan Perempuan Pelopor Perdamaian merupakan salah satu platform yang mampu memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam langkahnya untuk mengurangi pengaruh perempuan dalam terorisme melalui akarnya. Dengan adanya platform ini diharapkan mampu menyebarluaskan pemahaman penting perihal kesatuan dan persatuan kepada perempuan-perempuan di Indonesia agar tidak rentan terpapar paham radikal. Kemen PPPA, BNPT, dan MUI juga menghimbau masyarakat Indonesia khususnya perempuan agar dapat bersama-sama mewaspadai dan mencegah semaksimal mungkin keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme.
Penulis : Erlangga Wahyu Prasetyo, Rafi Decca Bryanto, Azahra Vio Sava Saputri , Mahasiswa HI UPN Veteran Jawa Timur.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan