Sayur Asem

221 0

Dado sedang duduk membaca buku ketika sayup-sayup terdengar suara gemeratak. Dia tidak menoleh, pun tidak terganggu oleh suara itu. Ibu jari dan telunjuknya tetap tenang menjepit dan membalik halaman-halaman buku di hadapannya.

Mata, pikiran, dan telinganya tidak dapat ditemukan saat ini. Kesadarannya sedang mengajak mereka terbang menuju akhir abad 19. Suatu masa ketika seseorang di suatu negeri kalah oleh Ratu Sekop dalam permainan kartu. Masa ketika seseorang tertipu oleh petunjuk yang diberikan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh pikirannya sendiri.

Sayang, ketika kesadaran Dado hampir saja tiba di negeri itu, dia lupa mengajak hidungnya. Dan hidung itu kini sedang menarik paksa kesadarannya kembali ke rumah karena aroma menusuk dari sayur asem masakan ibunya. Ketika kesadarannya pulang, tiba-tiba buku dalam tangannya setengah dilempar ke atas meja.

“Astaga!” serunya. Dado seketika berdiri kemudian setengah berlari menuju dapur. Suara gemeratak terdengar semakin nyaring. Asap telah berbondong-bondong ke luar dari pintu dapur. Dado menerjang masuk. Tangan kirinya menutup hidung. Tangan yang lain menggapai dan mencubit tuas kompor kemudian memutarnya mentok ke kanan. Api pun padam, sesaat suara gemeratak masih terdengar, semakin lirih kemudian senyap. Asap masih mengepul tebal keluar dari panci ibu seperti kawah gunung Semeru. Kini kedua tangannya dipaksa mengibas mengusir kabut asap itu. Ketika asap mulai menipis, panci ibu pun tampaklah. Dia terlihat tenang bersama tutupnya di atas kompor. Namun, warnanya yang dulu hijau berseling putih itu hanya tersisa di bagian atas. Bawahnya? Hitam pekat. Luar dalam, bersama ampas sayur asem yang mengerak di dasar panci dan kuah yang menguap bersama asap.

Dado tampak payah menatap panci ibu yang hanya tinggal satu warna itu. Kemudian terdengar dentang jam dinding di ruang tamu. Pukul sepuluh. Dua jam lagi mungkin Ibu pulang, pikirnya. Dia terduduk setengah lunglai di kursi dapur. Menunggu panci itu sedikit lebih dingin. Setelah beberapa saat, dia  putuskan untuk mencuci panci Ibu.

“Do,” terdengar suara seseorang memanggil dari luar. “Permisi! Do-Dado!”

Dado menaikkan lehernya kemudian menengok ke luar.

“Hoi, Ton!” seru Dado. “Masuklah! Pintu tidak dikunci.”

Sulton membuka pintu rumah Dado kemudian masuk ke ruang tamu dan duduk. Tangannya meletakkan belimbing wuluh di atas meja. Pandangannya sempat diayunkan ke sudut-sudut ruangan seperti mencari sesuatu.

“Do!”panggilnya. Sulton mengambil buku yang tergeletak tak teratur dari atas meja. Membacanya sebentar, kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur.

“Sebentar, Ton!” seru Dado dari dapur.

“Tak perlu repot-repot,” kata Sulton berkelakar. Ketika sampai di depan pintu dapur, Sulton langsung menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan.

“Kau sedang memasak, Do?” tanya Sulton dengan suara teredam.

Dado tersenyum kecut. Kepalanya menggeleng-geleng kecil di atas wastafel. Panci Ibu yang telah menghitam itu sedang dicucinya. Digosok dengan serabut besi kemudian dibasuh air sabun dan air hangat. Sambil mencuci Dado menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Sulton terbahak-bahak.

“Memang cerita apa yang kamu baca?” tanya Sulton. “Porno, ya?”

“Dasar otak mesum!” kata Dado ketus. Tangannya masih sibuk menggosok bagian dalam panci. “Cerita tentang Ratu Sekop,” tambahnya ketus.

“Oh, di buku yang ada di meja depan itu, to,” sahut Sulton. Dado tidak menjawab. Dia masih menggosok pantat panci yang hitamnya telah sedikit meluntur.

“Kau mau membantuku, Ton?”

“Asal bukan kejahatan,” kelakarnya.

“Kalau tidak keberatan,” Dado mengeluarkan dua lembar uang dari kantong celana kolornya, “tolong belikan sayur asem di warung Mak Tratap depan rumah itu. Mungkin sebentar lagi ibu pulang dari arisan. Aku mau mencuci panci ini sampai bersih. Semoga saja Ibu tidak marah.”

“Ah, beres!” ujar Sulton.

***

Setelah beberapa saat, Sulton kembali dari warung Mak Tratap. Sayur asem pesanan Dado dibawanya ke dapur kemudian diletakkan di meja dapur bersama dengan uang kembaliannya.

“Ini kembaliannya,” ujarnya. Sulton duduk di kursi dapur kemudian menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya.

“Terima kasih, Ton,” kata Dado. “Lihat ini!” Dado berbalik memperlihatkan panci yang telah digosok dan dicucinya itu.

“Wah, usahamu berhasil, Do!” seru Sulton. Panci itu telah terlihat bersih, gosongnya tak lagi tampak. Warna hijau putihnya yang terlihat. Luar dalam. Dado memindahkan sayur asem dalam bungkusan plastik ke dalam panci itu.

“Sayur asem!” gumam Dado. “Memang asem!” kata Dado sambil mengaduk dan mencicip sayur itu. Asem-asem muda itu terlihat berenang bersama potongan kacang panjang dan jagung dalam kuah yang tampak keruh.

“Husy!” kata Sulton. “Oh, iya, Do,” sambungnya, “biar tidak lupa, aku tadi memetik beberapa genggam belimbing wuluh di depan rumah. Mau kubuat manisan.”

“Ambil saja, Ton,” jawab Dado santai.

“Do,” suara Ibu tiba-tiba terdengar dari ruang tamu, “pintu depan kok terbuka lebar kayak mau ‘open house’ saja.”

“Ya, Bu,” sahut Dado dari dapur. Ibu berjalan menuju dapur. Tangannya menenteng kresek hitam berukuran sedang.

“Hlo, ada kamu to, Ton,” kata Ibu. “Sudah makan belum? Ayo makan sekalian. Ibu masak sayur asem-asem tadi.” Ibu menuju ke samping wastafel kemudian meletakkan kresek hitam berukuran sedang yang ditentengnya.

“Sudah, Bu,” jawab Sulton.

“Do, nanti tolong pindahkan sayur asem itu ke sini, ya,” kata Ibu sambil mengeluarkan dari kresek sebuah panci baru lengkap dengan tutupnya berwarna putih bergambar bunga. Ibu mencuci panci baru itu kemudian meletakkannya di samping wastafel.

“Ibu tadi dapat undian di arisan,” kata Ibu sambil keluar dapur. “Hadiahnya panci.”

Dado menelan ludah. Sulton menahan tawa.

“Do, sayur asem yang Ibu masak tadi asemnya pakai belimbing wuluh,” suara ibu dari ruang tamu, “bukan asem muda.”

“Dan lagi-lagi,” kata Sulton, “yang menang Ratu Sekop.”

160420


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Thomas Satriya

Fasilitator di Nera Academia Surabaya & Alumnus Fakutas Filsafat UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *