Rolling door ruko Cak Dulmatin sudah menutup hampir setengah gawang-pintu warungnya. Untung cahaya matahari dan udara yang tak sepenuhnya segar masih diperbolehkan keluar-masuk lewat sela pintu dan lantainya.
Di bagian dalam warung itu Paido dan beberapa orang lain telah duduk di kursi panjang menikmati kopi bikinan Cak Dulmatin. Tak ketinggalan sebuah televisi layar datar dua puluh satu inchi menempel di tembok sebelah kiri warung. Sembari menunggu kopi untuk gelas keduanya, Paido menyalakan sebatang rokok kretek tanpa filter.
“Berikut kami sampaikan update terkini kota J, pemirsa. Sebanyak 103 orang dinyatakan positif, 536 orang PDP, dan 7.328 orang dalam pengawasan. … .” Suara televisi Cak Dulmatin memenuhi ruangan meski suaranya tak lebih dari tiga garis.
“Cak, lampunya tak dinyalakan, ta?” tanya Paido sembari mengepulkan asap rokoknya ke langit-langit warung.
“Masih siang, Do,” jawab Cak Dulmatin sembari mengaduk kopi pesanan Paido.
“Lho? Kukira sudah malam, Cak,” kata Paido menimpali. Cak Dulmatin tertawa.
Paido menghisap kembali rokok kreteknya dalam-dalam kemudian membebaskan asapnya memenuhi langit-langit.
“Kok, tambah gelap-gelapan begini, ya, Cak?”
“Ya,” Cak Dulmatin berjalan mendekat dan meletakkan kopi Paido tepat di hadapannya, “biar kamu bisa tetap ngopi di sini, Do.”
Paido seketika tertawa. Mereka berdua tertawa.
“Untung masih bisa buka, Cak. Di daerah utara sana tak ada yang berani buka. Dua hari yang lalu di dekat pabrik sudah dipaksa tutup. Pelanggan-pelanggannya diusir. Untungnya waktu itu aku tidak ngopi di warung itu, Cak. Oh, iya. Password waivi-nya apa, Cak?” Paido mengeluarkan smartphone-nya.
“CoFet91, disambung. Cenya besar, efnya besar,” jawab Cak Dulmatin.
“Terima kasih, Cak,” Paido menunduk bersamaan dengan ibu jari yang naik turun menekan layar smartphone-nya, “kuota internetku tinggal buat whatsap-an. Toko Cak Idrus kemarin tutup. Entah hari ini.”
Cak Dul berpaling ke arah wastafel di sebelah kanannya. Lima atau tujuh langkah jauhnya dari tempatnya berdiri. Tidak begitu banyak gelas di samping wastafelnya. Dia berjalan menuju ke sana menyusur botol-botol plastik air mineral yang disusun berdiri menyerupai benteng pertahanan.
“Cak, sudah, Cak.” Seorang pelanggan berdiri dengan tangan kanan mengambil dompet di saku belakang celana.
“Ya,” Cak Dulmatin menoleh. Mencuci tangan kemudian berbalik menghadap pelanggannya. “Sudah, ta, Yul? Kenapa buru-buru?”
“Besok lagi, Cak, nanti keburu disemprot lagi jalannya,” jawab si pelanggan sambil menggaruk punggung.
“Apa saja, Yul?”
“Kopi dua, rokok tiga, mie goreng satu, Cak.”
“Tadi mie goreng pakai telur, ya, Yul?”
Pelanggannya mengangguk.
“Dua puluh ribu saja, Yul,” kata Cak Dulmatin.
Pelanggan Cak Dulmatin mengambil uang dari dompet yang telah dikeluarkan. Setelah saling berterimakasih, pelanggan itu melangkah ke pintu rolling door kemudian membungkuk, berjongkok, dan menyusup keluar menuju jalan yang telah dihujani desinfektan beberapa hari berturut-turut.
“Aduh! Jancuk!” Paido memukul meja di depan dadanya. Beberapa orang di sekitar Paido menengok ke arahnya.
“Kalah lagi, ta?” tanya Cak Dulmatin.
Paido meringis. Salah satu tangannya menggaruk kepalanya.
“Sudahlah, ganti hape saja, Do,” kata Cak Dulmatin, “tidak cocok itu dengan jarimu.”
“Loo,” Paido tertawa, “Nanti, Cak, kalau anak-anak sudah berangkat sekolah, jalan-jalan sudah ramai, toko-toko sudah buka, orang-orang sudah berangkat kerja, pasar-pasar sudah ramai.”
Cak Dulmatin tertawa, “Kamu seperti peramal saja, Do.”
Paido meringis.
“Jalan-jalan sudah sepi ta, Do?”
“Ya, sudah sepi, Cak. Pelangganku libur semua. Si Ani yang biasanya kuantar sekolah pagi-pagi libur dua minggu, Santo yang biasa kuantar kerja juga sekarang di rumah, warung nasi goreng Cak Marto juga tutup. Biasanya semalam bisa kuantar tiga empat bungkus,” Paido terkekeh-kekeh. “Sekarang yang ada panggilan masuk rumah, Cak.”
“Lha, kamu makannya gimana, Do?” tanya Cak Dulmatin serius.
Paido meringis. Menyeruput kopinya, kemudian mengambil lagi rokok dari dalam kaleng di depan Cak Dulmatin.
Suara televisi terdengar lebih nyaring.
“Saat ini bantuan solidaritas yang terkumpul dari masyarakat senilai dua ratus miliar rupiah. Bantuan ini akan digunakan untuk menyediakan APD bagi tenaga-tenaga kesehatan yang berjuang di garis depan melawan virus … .”
Cak Dulmatin mengambil remote televisi, mengarahkannya ke layar, dan mengganti salurannya.
“ … tiga puluh ribu tahanan akan dibebaskan untuk mencegah meluasnya virus… .”
Diarahkan lagi remote itu ke layar. Kali ini untuk menjadikan layarnya hitam, gelap, dan sunyi.
Dari luar terdengar riuh suara megaphone, sirine, dan derap sepatu orang banyak. Pintu rolling door warung Cak Dulmatin berisik terkerek.
“Cak, aku hutang dulu, ya,” kata Paido tergesa-gesa.
Pintu warung Cak Dulmatin mengeluarkan suara, “Saudara-saudara, dilarang kumpul-kumpul! Bubar! Bubar! Kalau saudara-saudara tetap melanggar akan kami denda atau kami tahan!”
Burung kutilang terbang, kemudian bertengger di kabel listrik di atas warung Cak Dulmatin. Berkicau riuh sebentar kemudian terbang dan hinggap di batang pohon trembesi.
2 April 2020
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan