Apatis Membunuhmu

234 0

Sebelum Virus Corona menghebohkan dan membuat panik hingga membunuh ratusan orang. Kira-kira apa yang sebenernya marak terjadi? Barangkali salah satunya adalah sikap Apatis.

Ya, sikap apatis pada perilaku masyarakat Wuhan yang biasa makan kuliner ekstrem. Entahlah bagaimana pengawasannya dari pihak dinas kesehatan terkait disana. Entah bagaimana seandainya, perilaku konsumsi makanan ekstrem itu diawasi lebih ketat.

Tak kurang, pemerintah disana pun mulanya bisa disebut apatis. Terutama setelah adanya temuan dari seorang dokter akan virus tersebut. Apa yang kemudian terjadi adalah sikap menutupi masalah dan diam. Sampai akhirnya virus Corona dalam diam membuat tak cuma Cina, tapi juga dunia, mencekam.

Saat ini seluruh dunia gelisah. Xenofobia marak dan korbannya adalah para warga dunia berwajah asia. Rasisme ikut mewabah bersama ketakutan akan paparan virus. Hubungan antar negara tegang dan ekonomi terguncang.

Hal yang sama, sejatinya juga terjadi dengan virus intoleran serta radikalisme. Ketika anda dan masyarakat kita apatis, merasa isu itu tak penting, maka disitulah situasi bisa jadi genting.

Anda boleh liburan jauh ke antariksa sekalipun. Punya banyak kekayaan dan jabatan setinggi Gunung Rinjani. Tapi saat anda abai, mereka yang bermimpi merubah bangsa ini jadi medan tempur, banyak berdiam diantara masyarakat kita.

Pada saat kita, termasuk Presiden tak mengambil peran sebagai terowongan silaturahmi, kita sebenarnya sedang apatis. Kita lebih senang membangun fisik terowongan dan membicarakan soal materi di permukaan. Tapi itu tak menyentuh sebenarnya persoalan.

Sebesar apapun terowongan Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral, tak bisa mengubah watak masyarakat yang semakin radikal. Faktanya, Istiqlal dan Katedral jauh hari sudah jadi simbol toleransi sejak era Presiden Soekarno. Apakah toleransi makin kuat karena simbol? Faktanya tidak.

Silaturahmi dan toleransi hanya bisa dibangun dengan tindakan revitalisasi kebudayaan dan penyemaian nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. Kebudayaan yang homogen dengan label agama di masyarakat mesti segera disikapi, karena semakin kuatnya eksklusivisme kelompok.

Budaya saling berkunjung pun kian terkikis karena prasangka berbau ideologi keagamaan. Nilai Pancasila pun remuk, terlebih dengan masyarakat melihat elit yang sering bicara Pancasila tapi korupnya, luar biasa. Kita sedang dalam masa tak biasa.

Maka hati-hati dengan sikap hidup dalam kesenangan diri dan kalangan sendiri. Sikap Apatis. Mulailah membaur dan jadi terowongan silaturahmi diantara yang berbeda. Jadilah penggerak silaturahmi agar ada tumbuh toleransi.

Anda tak bisa menunggu sampai sel-sel tidur radikalisme meledakkan diri di sekitar anda. Tak mungkin bisa menebak, kapan jaringan ISIS bentukan Amerika itu, atau kelompok radikal lain mengincar anda. Persis anda tak tahu, kapan cibiran atas nama kesucian dengan pengeras suara itu, berubah jadi bencana kebencian.

Dari balik Istana, bila Presiden Jokowi mau, terowongan fisik tidak akan lagi perlu diantara Istiqlal dan Katedral. Biarlah Presiden Jokowi jadi terowongan silaturahmi, dengan menegakkan konstitusi secara utuh, tanpa banyak gombal.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Tom Sembiring

Pegiat Gerakan Jangkar Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *