Gara-Gara Nico (1)

205 0
Heru Harjo

“Setelah bertahun-tahun bersama, aku pun baru sadar, ternyata ia seperti bumi yang kuinjak saban hari atau bayu yang kuhirup sepanjang waktu: kehadirannya begitu vital dan nyata tetapi kerap kali tak tersadari—setidaknya hal ini berlaku bagiku. Mungkin ocehan ini terlalu berlebihan. Tetapi yang pasti, ia begitu akrab denganku—atau lebih tepatnya: akulah yang mengakrabinya. Maka dari itu, sebelum penyebutan namanya berujung subversi dan jeruji besi, dan sebelum perselingkuhan kami terjalin secara samar di bilik-bilik kamar, izinkanlah aku untuk sejenak bercerita tentangnya yang hanya sudi bercakap dengan bahasa rasa.”

Demikianlah bunyi sepenggal manggala dari igauan sastrawi yang nongol di sepotong pagi yang cerah. Di sebuah beranda rumah yang mungil dan tertata rapi, Gareng tampak terpaku memeloti tulisan yang terpampang di harian Swara Amarta itu. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi yang tergolek di mejanya yang bersahaja.

Tak ada yang perlu dikisahkan bagaimana awal perkenalanku dengannya. Yang pasti, keakraban kami ini terjalin sedemikian alamiah. Prosesnya tak terlalu rumit dan berbelit-belit, semisal ketika engkau berupaya merajut talirasa dengan wanita yang hendak kau buntingi. Di sini tak tersua cinta, cemburu, patah hati, ataupun juga kesesuaian kepribadian, kesamaan hobi dan keserasian ideologi—tetek-bengek yang jamak membentuk terpilinnya sebuah persahabatan yang panjang. Tapi bagaimana mungkin? Yang jelas, ini perkara rasa, dan bukannya logika yang maunya serba jelas dan pasti. Sebagaimana yang aku katakan, bagiku ia tak jauh beda dengan bumi yang kuinjak saban hari ataupun bayu yang kuhirup sepanjang waktu. Dan kurasa itu lebih dari cukup untuk melukiskan hubungan kami. Titik.”

Palang yang Terbuang, 29×37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2018

Sebagaimana yang diketahui, Gareng adalah putra sulung Semar Badranaya. Ia kerap ditampilkan sebagai seorang patik yang berperawakan kecil. Matanya juling. Tangannya ceko. Dan gaya berjalannya yang tertatih-tatih karena kaki yang tumbuh tak sempurna alias pengkor. Sejak setahun lalu, rupanya Gareng memiliki aktivitas sampingan. Selain masih istiqamah menjadi punakawan keluarga Pandawa, kali ini ia juga bergiat di LSM Paguyuban Anti-Udut Amarta Raya. Tetapi kontribusi apa yang kira-kira bisa diberikan Gareng pada gerakan anti-tembakau yang tengah menjamur di negeri Yudhistira itu?

Setidaknya, di kalangan aktivis anti-tembakau, Gareng dikenal dengan sikap kritisnya yang tak berbelas kasih serta komitmennya yang berapi-api terhadap terwujudnya masyarakat tanpa tembakau. Hal ini tercermin, misalnya, dalam setiap diskusi ataupun aksi yang digelar. Tak ubahnya Raden Wrekudara yang selalu jejeg dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, Gareng pun senantiasa tampil tanpa kompromi dalam mengutuk dan membasmi tembakau.

Nico. Begitulah kemudian aku memanggilnya—sepenggal nama yang tak terlalu udik, bukan? Setahuku, Nico adalah sosok yang begitu populer dan kosmopolit. Bagaimana tidak, ia karib dengan sembarang orang dari berbagai golongan dan zaman. Dari bocah belia hingga orang tua. Dari petani hingga kyai. Dari gelandangan hingga orang gedongan. Dari penjilat hingga pejabat. Dari montir hingga pemikir. Dari berandal hingga intelektual. Dari wartawan hingga seniman. Pendek kata, aku rasa dalam bidang ini ia hanya mampu diimbangi oleh mendiang Gus Dur. Akan tetapi tak seperti Gus Dur yang memiliki kepribadian supel, otak jenius, solidaritas tinggi, dan seabrek kualitas plus lainnya, Nico sekedar bisa berdiam dalam keangkuhan. Lantas apa kalau begitu yang membuat berjuta manusia rela mengobral usia untuk bermesra ria dengannya? Apa yang patut dibanggakan darinya? Peduli setan!

Nico? Nico Siahaan? Nicole Kidman? Begitulah tanya Gareng dalam hati. Ia belingsatan berupaya menebak-nebak. Apa dan siapa Nico yang disebut-sebut dalam tulisan itu. Bagi Gareng tulisan itu terlalu avant-garde, sekedar corat-coret sok canggih, atau sekedar rangkaian sajak imagis yang terlalu subtil—untuk tak menyebutnya sak enake udele dhewe. Walaupun begitu, rupanya Gareng tetap tak bergeming dari bacaannya.

Jika ditingkap dari segala pola logika, Nico tak akan terbekap. Ia senantiasa melenyap laksana asap yang hendak kau dekap. Ia selalu melesat dari jerat nalarmu yang hambar. Sebab sebagaimana yang telah aku bilang, pemahaman terhadap Nico bukanlah pemahaman yang dapat seenaknya dihampiri dan diadili oleh nalar. Aku tandaskan sekali lagi: hukum logika sungguh tak meraja di sini. Bagaimana menjelaskan keelokan Batari Supraba kepada orang buta? Bagaimana menjelaskan rasanya orgasme kepada orang impoten

Sejatinya Gareng tak terlalu buta sastra. Setidaknya, ia karib dengan berbagai karya Yasadipura, Ranggawarsita, ataupun Raden Panji Natarata. Tapi puisi naratif yang tengah dibacanya kali ini lain. Tak umum. Tak konvensional. Alurnya kabur. Perwatakannya lemah. Peristiwanya pun sama sekali tak wijang. Singkatnya, corat-moret sastrawi itu seperti mengelak dari segala terkaman pakem kesusastraan tradisional.

Yang terang, berdasarkan pengalamanku sendiri, aku tak bisa ngapa-ngapain tanpanya. Entah kenapa, tanpa kehadirannya ide-ide di kepala ini terasa macet. Bahkan untuk menulis tulisan ini aku pun tak bisa lepas darinya. Sedramatis itukah? Emang!

Apa kabar, Nico? Tahukah engkau bahwa saat ini dunia tengah ramai mempergunjingkanmu? Tahukah engkau bahwa gunjingan mereka hanyalah suara yang bergema di keheningan gua? Tahukah engkau bahwa pagar yang mereka rampat untukmu ternyata tegak berderet di atas butiran pasir? Tahukah engkau bahwa pembatasanmu hanya akan merebakkanmu jauh lebih parah? Tahukah engkau bahwa mereka telah lupa terhadap hukum sejarah: represi hanya akan melahirkan proliferasi?

Engkau tak tahu, Nico. Dan aku juga tahu itu. Maka, kuguratlah sepotong sajak ini untukmu, sepotong sajak rindu seorang pecandu, sesobek sajak yang berhujah bahwa engkau adalah racun sekaligus tonikum—sangat tergantung dari mana engkau diterawang. Dan izinkanlah sajak ini aku beri judul dengan nama panjangmu: Nico(tine).

karenamukubutatabu | karenamukubatutabu | karenamukubutabatu | karenamukutabubatu | dan atas semua itu: | akureladibatubata | akureladibutabatukandiriku | karena hasratku padamu t’lah bulat 360’.

Karang Kadhempel, Ahad Pon 5 Mulud 1943 Jawa (Bagong Astrajingga).

“Braakkkk…!!!” Tiba-tiba Gareng menggebrak meja. Matanya membelalak berkilat tajam. Dadanya bergolak. Giginya gemeretak. “Keparat panuksmaning jiajal laknat!

Sebagai aktivis anti-tembakau yang militan tentu dapat dibayangkan bagaimana perasaan Gareng akibat tulisan itu. Terlebih, ternyata penulisnya adalah adiknya sendiri yang memang tak pernah akur dengan dirinya. Dan tanpa ragu, Gareng sigap beranjak dengan kakinya yang pincang. Langkahnya gontai membelah pagi. Seperti orang kesetanan, gerutuannya tajam bergema di sepanjang jalan. Hanya satu hal yang berjejal di benaknya: mendamprat Bagong.

Bersambung ke bagian ke II


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *