Kau Harus Bahagia di Bumi

187 0

“Kamu mau gak jadi pacar aku?”

Seorang pria bernama Gandhi waktu itu menembakku. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Dia adalah seniorku di kampus. Awalnya, aku tidak memiliki perasaan lebih padanya. Tapi karna usahanya yang sangat luarbiasa, mendekatiku dengan cara apapun, berhasil membuatku jatuh cinta padanya. Ya, begitulah memang cinta itu.

Banyak temanku yang bilang kalau dia itu playboy. Tidak hanya temanku namun teman dari Gandhi juga mengatakan hal yang sama padaku. Saat itu aku diajak oleh Gandhi untuk ikutan nongkrong bareng dia dan teman-temannya. Ya, perempuan mana yang tidak senang bila diajak kekasihnya gabung dengan teman-temannya sekaligus diperkenalkan?

“Ini pacarku… Kenalin…” ucap Gandhi pada teman-temannya memperkenalkan diriku.

Perlahan aku jadi tahu seperti apa dunia Gandhi karna dia sering mengajakku ke semua tempat yang biasa dia datangi. Oh begini rupanya, ucapku dalam hati sambil memperhatikan yang ada disekelilingku.

Seorang dari teman Gandhi mengajakku berbincang.

“Kok bisa mau sama Gandhi?” tanyanya.

Aku sempat merasa bingung dengan pertanyaannya.

“Yah, nanya aja sih kenapa bisa mau? Dia itu playboy. Dia itu ya sejenis parasit gitulah… Bukan aku mau menjelekkan dirinya tapi itu memang betul kok. Kasihan aja nanti kamu selama sama dia. Aku sih cuma mau bilang itu aja,” tambahnya.

Semua omongan itu terus membayangiku. Apa benar Gandhi seperti itu? Kenapa banyak orang mengatakan hal yang sama tentang dirinya? Ah, mungkin ini perasaanku aja. Dia kan pacarku, masa aku berpikiran negatif sama pacarku sendiri? Aku sempat menanyakan soal itu pada Tuhan. Hingga akhirnya aku melupakan semua omongan itu.

Dua tahun kemudian aku berhasil lulus kuliah dengan nilai yang sangat memuaskan. Sedangkan Gandhi sudah lulus beberapa tahun yang lalu namun dia masih menganggur. Tidak lama setelah kelulusanku, aku langsung mendapat tawaran kerja. Rejeki anak sholeh hehehe…

Sekalipun Gandhi belum mendapat pekerjaan, cintaku masih tetap sama padanya. Saat dia berhasil mendapat pekerjaan betapa bahagianya kami berdua. Yang ku ingat saat itu kami makan es krim berdua untuk merayakan kebahagiaan itu. Tidak lama dua tahun kemudian Gandhi melamarku. Entahlah, perasaanku campur aduk. Udah pasti bahagia tapi tiba-tiba aku merasa ragu. Aku bingung sama perasaanku sendiri. Lagian hampir semua orang pernah merasa ragu pada pasangannya. Tidak ada yang tidak menyimpan ragu sekalipun hanya satu persen. Aku coba curhat lagi pada Tuhan.

Dan akhirnya kami menikah pada bulan Oktober tepat di tanggal 20, tanggal jadian kami berdua. Semua teman-temanku mengucapkan selamat padaku. Semua orang yang mengenal kami mendoakan yang terbaik untuk kami berdua. Hingga salah seorang dari temanku yang dulu sekampus denganku mengingatkanku pada omongan beberapa orang yang dulu.

“Jelas juga ya sama Gandhi? Ku pikir gak bakal sampai menikah,” ucap salah seorang tamu undangan yang merupakan teman sekampusku dulu. Aku hanya tersenyum sambil tertawa kecil ke arahnya. Aku membuang jauh-jauh pikiran liar itu. Kini aku sudah menikah dengan Gandhi. Kalau dulu dia adalah seorang playboy, ku tahu dia sudah berubah tidak seperti yang mereka katakan.

Hingga akhirnya rumah tanggaku dengan Gandhi dikaruniakan seorang malaikat kecil yang kami beri nama Natasya. Betapa cinta dan sayangnya aku dengan keluarga kecilku ini. Begitulah kata orang, katanya anak memberi berkah tersendiri pada orangtuanya. Kami merasakan hal itu. Tidak lama setelah kelahiran Natasya putri kecil kami ini, Gandhi mendapat promosi. Jabatannya naik dan kini berhasil menjadi seorang manager di perusahaan tempat dia bekerja.

Tapi…

Entahlah, apa mungkin yang dikatakan oleh teman-temanku dulu itu benar? Perlahan Gandhi sikapnya berubah kepadaku. Dia mulai jarang pulang tepat waktu. Hingga akhirnya dia jarang pulang ke rumah. Bahkan aku tidak tahu dia tidur dimana dan dengan siapa. Dia selalu beralasan ada acara sama teman, keluar kota karna ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggal, sampai dia tidak lagi memberi waktu untuk putri kecilnya.

Itu benar-benar membuatku stres. Aku depresi. Keadaan ini membuatku harus kuat, mau tidak mau. Aku mengurus Natasya seorang diri. Keluarga kami tidak ada yang tahu soal ini. Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi setelah berbulan-bulan Gandhi seperti menelantarkan aku dan Natasya, tanpa kasih sayang dan perhatian dari dirinya.

Awalnya aku menahan diri untuk tidak berpisah. Namun berpisah kini menjadi keputusan terbaik buatku setelah melihat perubahan drastis dari Gandhi. Sering sekali Gandhi marah-marah terhadapku. Mungkin tanpa ku sadari sebenarnya aku sudah terjebak dalam kekerasan rumah tangga. Beberapa kali Gandhi mengurungku di kamar bersama Natasya. Saat sarapan pagi bersama, aku hanya ingin dia memberi waktunya sedikit untuk kami. Meminta dirinya untuk segera pulang nanti agar bisa makan malam bersama. Diluar dari ekspetasiku, ternyata dia merespon dengan nada marah sambil membanting gelasnya.

“Aku sibuk banget! Jangan paksa aku terus!”

Aku belum mampu melupakan sikap kasarnya malam itu. Dia bilang dia khilaf sudah menamparku hanya karna aku bertanya apakah dia pergi dengan seorang wanita. Mungkin salahku juga terlalu terbakar cemburu. Tapi aku yakin kemarin aku bertanya dengan nada lembut padanya.

Demi kesehatan mentalku dan Natasya aku memilih bercerai dengan suamiku. Ada penyesalan yang terselip di dalam hatiku. Kenapa dari dulu aku tidak mendengarkan omongan salah seorang temannya Gandhi saat itu?

Cinta membutakan mata hatiku. Tapi kini aku merasa diriku lebih berhikmat. Ku biarkan dia hidup bersama perempuan selingkuhannya yang tidak pernah dikenalkannya padaku. Diam-diam mereka menikah setelah aku berpisah secara resmi dengan dirinya.

Aku kembali melanjutkan hidupku. Bekerja demi Natasya dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang walau tanpa seorang Bapak.

10 tahun kemudian…

Gandhi tiba-tiba datang kembali ke hidupku. Dia bilang perempuan itu ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya saja. Perempuan itu ternyata sudah menikah resmi sebelum bersama dengan Gandhi.

Aku merasa kasihan namun aku tidak ada hati lagi padanya. Aku ingin bebas. Aku lebih sayang pada diriku sendiri. Begitu juga rasa sayangku pada Natasya, melebihi rasa sayangku terhadap diriku sendiri.

Tanpa Gandhi, hidupku jauh lebih bahagia. Ditambah kini Natasya sudah tumbuh besar menjadi anak yang pintar dan patuh padaku sebagai orangtuanya. Kini aku bebas dan bahagia. Aku harus bahagia selama di bumi, ucapku dalam hati sambil meyakini bahwa aku pasti bahagia dengan caraku tersendiri.

Walau aku berusaha terlihat tegar namun tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku perihal kegagalanku dalam berumah-tangga. Harusnya saat itu aku terus bertanya dengan Tuhan. Atau mungkin aku saja yang tidak peka dengan semua sinyal dari Tuhan. Aku dibutakan oleh cinta.

Nasi sudah menjadi bubur. Tidak baik kalau aku ungkit kembali. Kini aku sudah memulai lembaran baru dalam hidupku. Aku bersyukur Tuhan masih bersamaku…

FI : Background vector created by freepik – www.freepik.com


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Acha Hallatu

Penulis muda dari Medan yang telah menulis buku Catatan Aku Anak Psikologi dan “Aku, Dia, dan Patah Hati yang Unchhh”. Buku-buku ini tersedia di Google Play Book dan Shopee. Email : hallatuacha@yahoo.co.id. IG : achahallatu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *