Sungai pasang. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Waktu itu pagi hari. orang Tua dan muda tumpah ruah di pinggir-pinggir sungai membawa wadah. Ikan dan udang melompat-lompat genit. Orang-orang berebut memungut satu demi satu. “Terimakasih, Tuhan, alam, air, langit, cahaya, apaun namaMu, terimaksih,” teriak salah satu laki-laki.
Kebahagiaan merona di sudut-sudut rumah Batang. Siang hari sudah mendung. Tak disangka berkah alam datang lebih cepat. “Bukankah harusnya empat hari lagi?!” salah seorang dari mereka bertanya bingung. “Jangan ikam pikir, cepat ikam pungut ikan dan udang itu sebelum air surut.” Bentak orang di sebelahnya.
Purok melihat dari rumahnya. Ia melihat Danum menasihati Mak Anyan agar tak terburu pindah kesana-kemari. Mereka berdua saling ribut. Danum berbicara perlahan sedangkan Mak Anyan mengomel padanya: “Cepat ikam bantu ulun, bodoh. Jangan diam saja. Ambil wadah itu. Ikam di pinggir, ulun mencegatnya dari sini.” Perintah Mak Anyan. “Baik, Mak!” sahut Danum bersiap-siap.
“Dimana Mantikei. Ulun harap dia tidak muncul tiba-tiba mengagetkan orang-orang. Apalagi ulun hari ini belum sama sekali melihatnya. Belum waktunya ulun bertemu dengannya. Waduhh! Sedikit lagi akan gelap. Kapan air ini surut. Waktunya singkat buat bertemu Mantikei.” Keluh Purok mengeluh.
Dari jarak yang sangat jauh, ujung kepala Mantikei menyembul. Matanya mengawasi keramaian yang ada di ujung. Ia mengamati satu demi satu. Tidak ada Purok disana. “Eh eh eh, berani betul, ikam Purok,” eram Mantikei.
Purok kebingungan. Dari badannya keluar keringat dingin. Ia tidak tahu harus tetap berdiri atau duduk. Ia hanya mondar-mandir dan sesekali mengintip dari sela pintu. “Buhenn, kenapa orang-orang masih saja ramai.” Katanya.
Mantikei menahan amarah. Berpindah dari ujung ke sisi yang lain dengan tetap sedikit menyembulkan kepalanya, “Buhenniak, ikam kurang ajar.” Eram Mantikei lagi.
Purok masuk dalam dapur. Mengambil inang dan memakannya. Pria setengah tua itu kembali mengintip. Akhirnya ia duduk berjongkok dekat pintu. Berharap orang-orang akan kembali ke rumah mereka masing-masing. Ia menoleh ke kiri melihat botol kecil ramuan minyak ajaibnya lalu kembali meramu inangnya dan mengunyahnya dengan panik.
“Ampuni ulun, leluhur. Ulun tidak sanggup. Ulun sudah menjalankan tradisi. Ulun tidak kuat hidup sendiri. Ulun butuh perempuan cantik. Ulun menyukai Danum bukan Mantikei. Sampai kapan Ulun harus hidup memanjakan Mantikei. Mengapa harus ulun yang menanggung takdir pean semua?” Purok merintih menahan air matanya. Tapi tetap saja air itu mengalir deras.
Sudah berpuluh tahun Purok hidup menjalankan takdirnya, yaitu menyimpan ramuan minyak ajaibnya dengan syaratnya memanjakan Mantikei sampai salah satu dari mereka mati. Purok tidak bisa menolak. Sebab jika ia menolak, Mantikei akan mengganggu anak-anak kecil yang bermain di sungai. Mantikei yang seputih salju itu akan mendatangi Purok saat tidur.
Bulan purnama pelan-pelan pudar. Sedikit orang-orang yang masih tinggal. Mereka menunggu wadah-wadah yang mereka bawa penuh. Mak Anyan dan Danum pulang bersamaan dan memanggul wadah berisi ikan dan udang di atas kepalanya. Purok melihat mereka dan membatin, “Danum Danum, ikam…,ah Danum, berat sekali takdirku ini. Tolong aku.”
Purok melihat langit. Bulan purnama menghilang. Ia memuntahkan inangnya. Berlari ke sungai kecil di bawah rumah. Ia melepaskan seluruh pakaiannya—telanjang bulat. Ia membasuh kepalanya sebanyak tiga kali; menyiram sekelilingnya sebanyak masing-masing dua kali; melemparkan gumpalan air ke langit sebanyak tiga kali. Lalu, ia merentangkan tangannya, mengepak-epakannya sehingga air tak karuan.
Dengan telanjang bulat ia berjalan mengintip dari selah-selah kayu dinding rumahnya. “Sudah waktunya. Aku akan mati. Aku akan bebas.” Ujarnya. Masih basah kuyub ia kembali masuk ke kamar tidur. Menatap kosong lantai kamarnya. Dalam hatinya kalut: “Hidup abadi dengan Mantikei atau mati berdua bersama Danum.”
Ia bangun. Hatinya sudah mantap. Ia Mengambil minyak ramuan ajaib yang diwariskan padanya turun temurun selama ratusan tahun. Ia membalurkan pada tubuhnya yang masih telanjang bulat hingga tubuh dan lantainya terlihat mengkilat. Ia merapal mantra selama beberapa lama. Kali ini mantra yang berbeda: mantra penghabisan.
Purok berjalan meninggalkan rumah dengan telanjang bulat. Langkah kaki yang tenang. Ia berjalan mendekati bibir sungai. Dalam jalannya yang damai, ia berpapasan dengan Mak Anyan. Purok menatapnya takut. Mak Anyan tidak dapat melihatnya dan Purok mengetahuinya. “Bau apa ini, nyaman sekali, macam wadai. Siapa pula yang membuat wadai malam-malam begini.” Gerutu Mak Anyan. Purok sadar itu bau tubuh dan minyak ajaibnya. Ia tak peduli. Ia tetap berjalan menuju bibir sungai.
Mantikei mengamati dari jauh. Matanya membesar mengisyaratkan kebahagiaan. Mantikei mendekat pelan-pelan menghampiri Purok. Wajah Purok terlihat pasrah. Sebab baginya ini adalah terakhir.
Mantikei langsung menyambarnya dengan kejam: “Apa kau sudah gila berani menantangku. Apa kau mau mati. Mana ayamnya. Leluhurmu sudah berjanji akan memberiku ayam putih jantan setelah bulan purnama? Apa kau mau mati?” “Ampuni aku, Mantikei, Tak ada ayam sekarang. Ini terakhir.” Jawab Purok. “Apa maksudmu?” tanya Mantikei. Purok mengela nafas dan menjawabnya dengan jawaban yang sama, “ini terakhir, Mantikei—terakhir aku akan hidup denganmu. Aku akan meniduri Danum malam ini dan mempunyai anak.”
Mantikei menyembulkan kepalanya lagi. Separuh badannya berada di darat. Ia membuka-buka mulutnya seakan-akan mengancam Purok—menggeliyat liar. Purok tidak gentar. Tanpa mengatakan apapun Mantikei pergi meninggalkan Purok. Dari kejauhan ia mengancam: “kau akan mati Purok. Kau akan mati seperti leluhurmu.”
Purok tak bergeming. Ia berjalan tenang meninggalkan bibir sungai. Berhenti sejenak lalu berjongkok. Dari belakang ia mendengar suara Mak Anyan yang semakin mendekat. “Buhenn, bau ini lagi. Siapa orang gila tengah malam membuat wadai. Danum tidak mungkin. Dia tak bisa membuat wadai. Si Purok apalagi, tidak ada perempuan di rumahnya.” Dari dalam hati Mak Anyan penasaran dengan bau yang sama di tempat yang berbeda.
Purok bangkit. Menatap dari kejauhan rumah Danum. Ia percaya kalau tubuhnya masih tidak terlihat. Ia berjalan mendekati rumah Danum. Mengintipnya dari selah dinding kayu. Ia melihat Danum tertidur pulas bersama adiknya. “Danum, Danum, cantik sekali ikam,” batin Purok.
Mak Anyan masih penasaran dengan bau yang ia cium selama perjalanan pulang dari buang hajat di sungai. Sanking penasarannya ia berpikir untuk mendatangi rumah Danum setelah subuh. Berharap bahwa Danum yang membuat wadai.
Ayam bersuara dan anjing menggonggong. Suara babi saling bersahutan. Burung-burung bernyanyi. Bintang-bintang terlihat lebih terang dari biasanya. Air sungai memerah. Pantulan matahari malu-malu menatap sungai yang masih tertidur. Mak Anyan berjalan tergopoh menuju rumah Danum.
Purok kaget dengan kedatangan Mak Anyan. Tapi ia percaya tubuhnya masih tidak terlihat. Yakinnya, dengan menghabiskan semua minyak ajaibnya itu ia tidak terlihat oleh orang-orang dalam waktu lama. Lalu, ia kaget dan takut ketika Mak Anyan menatapnya dengan bola mata yang nyaris keluar. “Purok, tolong, tolong, tolong,” teriak Mak Anyan. Dengan cepat orang-orang keluar rumah, termasuk Danum dan adiknya. Purok menjadi patung: tidak menutupi tubuhnya atau lari. Ia hanya mematung.
“Purok! Kenapa ikam telanjang?” tanya Danum—dan Purok tetap mematung.
Orang-orang berdatangan. Seorang pria langsung menendang perut Purok. Seorang lagi menghantam kepalanya dengan batu. “lempar dia ke sungai. Biar dia mati tenggelam.” Teriak orang lain. Darah mengucur dari kupingnya. Gumpalan-gumpalan keluar dari mulutnya. Purok tetap mematung ketika diseret. Orang-orang dengan buas melemparkannya ke sungai.
Mantikei mengawasi dari bawah rumah batang. Byurr, Purok meronta-ronta. Tidak ada orang-orang yang tidak bisa berenang di kampung, termasuk Purok. Tapi kali ini lain. Tubuh Purok terasa kaku seperti patung; berat seperti batu-batu. Ia mengambang untuk waktu yang lama sebelum Mantikei menyambarnya dan mengoyak tubuhnya. Orang-orang meninggalkan Purok dicabik-cabik Mantikei.
“Apa kau tidak tahu tentang minyak itu, Purok. Kalau kau tidak memberiku ayam jantan setelah bulan purnama, minyak itu akan hilang kekuatannya. Kau tidak dengar takdir leluhurmu, Purok. Leluhurmu mengambil minyak itu dari tubuh suamiku. Aku dan suamiku tak terpisahkan. Tapi leluhurmu membunuhnya. Mereka menguliti dan memakan dagingnya. Apa kau tau rasanya melihat kulit orang yang kau cintai dijemur?” cerita Mantikei, “Apa aku bilang, kau pasti mati.” lanjutnya.
Air sungai tetiba berwarna putih sebab campuan darah Purok dan liur Mantikei. Mantikei pergi meninggalkan Purok yang hanya tersisa lengan dan kupingnya. Kelakuan Purok tersebar hingga ke seberang sungai. Orang-orang lalu mengenal daerah itu dengan sebutan Sungai Buaya Putih.
FI : Hand vector created by pikisuperstar – www.freepik.com
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan