Marsuki Melawan Sultan

168 0

Sultan Bassanu menikmati pemandangan Sungai Buaya Putih dengan secangkir teh di beranda rumahnya. Orang-orang kerap menunduk mengucap tabik jika lewat pekarangannya. Entah itu tua jompo, muda kekar, atau kecil tengil, tanpa terkecuali. Kegiatan abadi Sultan Bassanu di Sungai Buaya Putih tak lain hanya minum teh sembari menunggu rakyatnya membungkuk mengucap tabik.

Sultan Bassanu adalah orang yang murah senyum. Rakyat hidup menghamba padanya. Penuh rasa takluk oleh darah dalam kulitnya. Wanita-wanita Sungai Buaya Putih berebut untuk menjadi dayangnya. Tapi tak mudah.

Ia hanya tinggal dengan wanita tua,. Mamak Using namanya. Usianya hampir menginjak sembilan puluh tahun. Mamak Using masih sanggup setiap pagi menyajikan teh untuk Sultan Bassanu dan menyediakan segala kebutuhannya.

Marsuki berkeringat. Perutnya melilit. Ia berlari menuju bibir sungai. Ia masa bodoh melewati rumah Sultan Bassanu. Sultan Bassanu hanya bisa menatap Marsuki dengan kemarahan yang mendadak, “Siapa dia, Mak? Berani betul. ”tanya Sultan pada Mamak Using. “Marsuki, Nak. Apa ikam tidak tahu?” sahut Mamak Using. “Marsuki? Tidak, ulun tidak tahu. Satu-satunya orang Sungai Buaya Putih yang ulun kenal cuma Dusam, ajudan kita.” Jawab Sultan.

Marsuki melirik sekitar. Ia orang yang sangat berhati-hati dan paling sembrono di Sungai Buaya Putih. Dengan perasaan aman dan nyaman ia membuka sehelai kain penutup tubuhnya. Kelegaan merona di pipinya setelah menghempaskan ampas ubi dan daun singkong. Sekejap ia terkaget dan menggerutu: “Aduh! Siapa itu?! Ulun belum juga menyucinya sudah ada orang.”

Ratusan tahun rakyat Sungai Buaya Putih membuang hajat di sungai. Di setiap waktu. Air adalah segalanya: dimasak untuk diminum; ditampung untuk membilas kain; diraih untuk mandi sekaligus buang hajat. Satu-satunya orang yang tidak membuang hajat di sungai hanya Sultan Bassanu.

Marsuki menceritakan kegamangannya tentang air sungai dan orang-orang yang buang hajat pada Bamauy, sahabatnya. Wajah Bamauy nampak heran dengan cerita Marsuki. Marsuki merasa malu jika wanita-wanita menontonnya buang hajat. Rasa-rasanya, buang hajatnya tidak sempurna.

“Orang-orang kadang buang hajat di dalam hutan, terkadang juga di sungai. Pernah sekali ulun menemui orang buang hajat dengan telanjang bulat. Menurut ikam mana lebih baik, di hutan atau di sungai?” tanya Bamauy.

Marsuki menjawabnya dengan nada malas, “aaahh, tak ada bedanya, orang masih bisa melihat dan mencium baunya.” “Apa ikam pernah melewati rumah Sultan?” tambah Marsuki.

“Pernah. Ada apa?” tanya Bamauy. “Apa ikam tidak heran dengan Sultan?! tanya Marsuki. Bamauy memercingkan mata mendengarnya. Marsuki menambahkan, “dia satu-satunya orang yang tidak pernah terlihat buang hajat di hutan atau di sungai.” “Benar Juga” sahut Bamauy lega. “Apa ikam tidak penarasaran?” tanya Marsuki.

Tanpa menunggu hari berganti, Marsuki melancarkan aksinya. Tengah malam ia beraksi. Saat semua orang terlelap, ia mengendap-ngendap memasuki pekarangan rumah Sultan. Lalu memutarinya, menuju ke halaman belakang rumah, dan berhenti tepat di sebuah bilik kecil. Ia memaku pandangannya. Ia melihat dari atas ke bawah, dan lantas dari kanan ke kiri sambil mengitari bilik itu. “Lubang apa itu?!” herannya.

Ia mengelabui dua pengawal dan kabur melalui halaman belakang rumah Sultan Bassanu dengan langkah pelan-pelan dan cukup berhati-hati. Tapi tetap saja. Sehati-hatinya Marsuki ia tetap meninggalkan sesuatu di halaman depan. Keesokan harinya Sultan menyadari seseorang telah masuk dalam pekarangan rumahnya. Ia sontak menambah jumlah ajudannya menjadi tiga kali lipat. Sultan cukup marah dan bersumpah memancung orang itu jika tertangkap.

“Apa yang kau temukan?” tanya Sultan pada Dusam.

“Hanya kain, Tuan.”

“Apa lagi?” bentak Sultan.

“Tak ada, Tuan. Hanya kain ini saja.” Jawab Dusam dengan kepala tertunduk.

Marsuki setengah berlari menuju rumah Bamauy—“Ma, Maa, Mauy, cepat ikam kemari,” teriak Marsuki. Bamauy membukakan pintu dan bingung melihat Marsuki duduk dengan menggoyang-goyangkan kakinya di lantai. “Ada apa?” tanya Bamauy.

Marsuki menceritakan semua tentang aktivitas mengendap-ngendapnya di pekarangan rumah Sultan.

“Ikam sinting,” sahut Bamauy.

“Ulun lihat ada bilik kecil di rumah Sultan. Di bawahnya ada lubang yang meneteskan air. Jangan-jangan disana Sultan Bassanu buang hajat,” kata Marsuki.

“Lalu ikam mau apa?” tanya Bamauy, “Kalau ikam ketahuan, ikam bisa dipancung, Suki. Ikam tak tahu Sultan Bassanu pernah memasung orang-orang dari pulau seberang, hah?” tambahnya.

“Ulun mau membuat bilik, seperti punya Sultan. Biar ulun tidak malu.” Kata Marsuki.

“Suki, ampun ulun melihat tingkah ikam. Ikam harus meminta restu pada Sultan sebelum membuat bilik.” peringat Bamauy jengkel.

Marsuki menyilakan kakinya. Tatapannya penuh gairah. Telapak tangannya sebentar menggengam dan terbuka. Ia nampak bersemangat dan tenang menanggapi peringatan Bamauy: “kenapa, Muy? Apa gunanya restu Sultan untuk membuat bilik buang hajat?”

Marsuki memotong kayu-kayu di hutan dan membawanya ke bibir sungai. Pada mulanya ia memotong kecil-kecil lalu setengah memanjang, dan ada yang tak dipotong. Ia membuat dermaga kecil untuk menuju bilik. Bilik dibangun keesokan harinya. Orang-orang kampung menganggap Marsuki orang sinting. Sebab kabar yang beredar adalah Marsuki berniat mambangun jembatan yang bisa mencapai ke seberang.

Malam harinya ia singgah dirumah Bamauy. Seperti malam-malam biasa, mereka berdua duduk di beranda rumah tanpa alas dan makan minum seadanya: ubi yang dibalur cairan gula aren dan kopi pahit. Marsuki menceritakan proyek bilik jambannya pada Bamauy yang sedang mengunyah ubi: “Besok biliknya selesai, Muy. Ikam bisa buang hajat sepuasnya tanpa malu-malu dilihat orang.” “Ya, Ki. Tapi apa ikam sudah bertemu Sultan?” tanya Bamauy. “Tidak usah. Santai saja. Sultan tak akan tahu, ia sibuk minum teh.” jawab Marsuki.

Bamauy tidur dalam rasa ketakutan. Ia membalikan badannya, duduk, dan tidur kembali. Begitu seterusnya hingga subuh. Ia merasa akan terjadi bencana pada hidup Marsuki. Ia ingin membantu alih-alih juga mengingatkan Marsuki.

Sultan Bassanu mondar-mondir di beranda rumahnya. Pagi-pagi sekali ia sudah mengumpulkan ajudan-ajudannya. Kira-kira berjumlah sembilan orang. Mereka berasal dari seluruh negeri. Bajingan-bajingan yang bercampur dengan pejuang di masa lalu.

Orang-orang Sungai Buaya Putih berperasangka akan terjadi sesuatu. “Sultan tak seperti biasanya. Banyak orang dirumahnya.” Kata seseorang wanita, dan yang lainnya menyahuti pelan, “salam ulun tak berbalas apa-apa dari Sultan. Tak seperti biasa.”

“Bagaimana, Nak, apa ikam mau menghukum Marsuki atas perbuatannya?” tanya Mamak Using.

“Iya. Dia sudah kurang ajar, tanpa ijin memasuki pekarangan kita.” Kata Sultan.

“Tidak ada barang berharga dirumah ini yang dicuri, Nak. Apa ikam tak mau mengampuni dia. Dia hanya rakyat biasa yang tak tahu apa-apa. Mungkin dia butuh sesuatu.”

“Bukan barang yang membuatku marah tapi kehormatanku sebagai Sultan.” Bentaknya muntab.

“Ikam sudah berani membentak padaku, Nak?” tanya Mamak Using. Sultan Bassanu hanya menunduk dengan jiwa yang kalut sembari menciumi tangan Mamak Using. Lanjut Mamak, “pergilah, Dik, Nak, ke rumah Marsuki. Tapi ingatlah pesan ayahmu, hukuman tak harus tertumpah darah.”

“Ampuni aku, Mak, aku ingat.” Jawab Sultan.

Ia kembali pada ajudannya dan membentak mereka sejadi-jadinya. Ia mendapatkan informasi dari Dasum, jika Marsuki baru saja membangun bilik untuk buang hajat. “Benar-benar rakyat bodoh dan tak bermoral.” Gerutu Sultan. “Masuk pekaranganku serupa maling lalu membangun jamban tanpa restu dariku.”

Marsuki dan Bamauy bersantai ria di beranda rumah ketika Sultan Bassanu dan ajudan-ajudannya datang. Bamauy yang paling panik melihat kedatangan Sultan. Ia cepat-cepat merapikan pakaiannya, menyambut Sultan dengan membungkuk mengucap tabik.

“Tabik, Sultan! Tabik! Panjang Umur dan diberkati keluarga dan semua keturunan Sultan Bassanu.” Ucap Bamauy.

“Kau, Marsuki?” tanya Sultan pada Bamauy.

“Bukan, Tuan. Ia Marsuki.” Jawab Bamauy ketakutan sembari menunjuk ke arah Marsuki.

“Hamba yang Tuan cari. Ada apa, Tuan?”

Marsuki lantas membungkuk dan mengucap tabik pada Sultan. Akan tetapi mulut Sultan hanya diam tanpa sepatah dan seuntai senyuman.

“Apa yang kau lakukan dirumahku? Apa benar kau membangun bilik untuk buang hajat?” tanya Sultan.

“Apa, Tuan—tidak, ah, iya, Tuan. Bukan—iyaa, hamba, Tuan.” Jawab Marsuki linglung.

Salah satu ajudan melancarkan tinju tepat pada kuping Marsuki. Seketika ia terpental sejauh dua kaki. Bamauy membopong dan membawanya kembali menghadap Sultan.

“Ampuni dia, Tuan, pinta Bamauy sembari mengelap keringat dan air matanya. “Dia hanya ingin melihat bilik buang hajat milik Tuan Bassanu. Dia merasa heran dengan hidup Tuan, sebab Tuan tak pernah terlihat buang hajat di hutan atau di sungai seperti kami. Ampuni kami, Tuan.” Iya, ampuni hamba, Tuan.” Marsuki menyelah.

“Hukum mereka!” Perintah Sultan ke ajudannya, “sisanya ikut aku melihat bilik Marsuki!”

“Siap, Tuan!” sahut sigap para ajudan.

Marsuki dan Bamauy ditempa habis-habisan. Tapi Marsuki yang paling jadi sasaran. Sesekali ditendang ulu hatinya, dua kali sepakan menuju ke wajahnya, seringkali kaki-kaki menyambar tubuhnya dengan acak. Ia terkapar sadar. Hanya darah sudah mengucur. Semua sudah berwarna merah.

Di tengah-tengah eksekusi hukuman, Dusam, memisahkan mereka semua.

“Berhenti! Ingat pesan Mamak using! Tidak ada darah dalam hukuman!”

Para ajudan berhenti dengan satu dua kali menyepak kepala Marsuki dan Bamauy.

“Untung kau, tai! Dasar orang sinting tak tahu sopan santun,” salah satu ajudan berkata, dan satunya meludahi mereka berdua, “juuhh—dasar tak bermoral.”

Sultan takjub melihat bilik yang dibuat oleh Marsuki. Dermaganya dibuat demikian indah. Biliknya terlihat cukup nyaman. Dermaga dihiasi dengan pohon-pohon muda di setiap sisinya; seolah diciptakan untuk menyambut raja dan ratu. Potongan kayu yang rapih ditambah dengan daun-daun kecil yang bisa merangsang jiwa. Dinding berukir memaksa mata Sultan untuk memandang lebih lama. Marsuki mengukir dinding dengan mandaunya: karya abstrak dari orang yang sembrono. Batang-batang pohon menjulang tinggi, tempat sepasang kunang-kunang dipenjara dalam bola kaca.

 “Ikam tidak apa-apa, Ki?” Tanya Bamauy sembari membopong tubuh Marsuki.

“Jangan kuatir! Tapi mata ulun tak bisa melihat.” Jawab Marsuki lemas. “Tapi—ulun lupa apa yang ada di dalam bilik. Mudah-mudahan Sultan tak sampai masuk ke dalam bilik, Muy.”

“Kalian tunggu di sini.” Perintah Sultan.

Sultan melangkah setapak untuk setapak. Menyentuh dedaunan di kedua sisinya. Sesekali mencium bau bunga yang baru mekar, mencabut satu bunga dan mengantonginya. Ia mendekat ke pintu bilik, menyentuh ukiran-ukiran sembrono Marsuki. Ia terkagum: “Ukiran yang indah, kacau, sembrono, dan menggelitik,” batinnya. Ia membuka pintu bilik dan menutupnya kembali dengan suatu kekuatan amarah.

“Bajingan kau! Kau sengaja menyimpan tai di dalam, kan!” Bentak Sultan.

“Tidak, Tuan. Bukan itu niat hamba. Hamba hanya lupa menyiram, Tuan. Ampuni ulun, Tuan.” Marsuki menjawabnya dengan sujud dan memeluk kaki Sultan Bassanu.

Marsuki ditangkap. Ia didakwa melecehkan kehormatan Sultan, dan dihukum mempercantik bilik jamban Sultan Bassanu dengan upah sebuah ubi sehari, tanpa gula aren dan kopi pahit.

“Kau beruntung. Aku tidak menghukum pasung.” Kata Sultan meledek. Dan Marsuki hanya melongo kehabisan kata-kata dengan bengap di matanya.

FI : Designed by macrovector / Freepik


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Darius Tri Sutrisno

Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *