BERAPA ORANG dari generasi muda kita sekarang yang pernah mendengar nama Soerastri Karma Trimurti dan Umi Sardjono? Barangkali jumlahnya tidak banyak.
Saya pun mendengar nama ini baru-baru saja setelah membaca artikel di sebuah buku pengantar untuk memahami gerakan kiri di Indonesia. Mengapa tidak banyak generasi muda yang tahu? Salah satu sebabnya ialah sekalipun dua tokoh ini memiliki peran yang teramat penting bagi kemerdekaan Indonesia, namun sama sekali tidak disinggung dalam pelajaran di sekolah.
Soerastri Karma Trimurti (S.K. Trimurti) dan Umi Sardjono adalah tokoh politik penting semasa melawan Belanda dan Jepang maupun setelah kemerdekaan. S.K. Trimurti berjuang melalui tulisan-tulisannya yang anti-penjajah dalam media massa seperti Genderang, Bedug dan Pikiran Rakyat.[1]
Sedangkan Umi Sardjono berjuang melalui organisasi tempat ia bergabung yaitu Pesindo (Pemuda Sosialis Indoesia). Mereka berulangkali masuk keluar penjara karena aktivitas politiknya. S.K. Trimurti dan Umi Sardjono, di era setelah kemerdekaan, merintis Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang lalu berubah nama menjadi Gerwani.[2] Gerwis menuntut adanya UU Perkawinan, menolak poligami, dilindunginya hak-hak perempuan, serta hak-hak kaum buruh dan tani.[3]
Sejak tahun 1965 hingga seterusnya, Gerwani mendapat stigma negatif dari pemerintah rezim orde Baru sebagai organisasi perempuan-perempuan asusila yang dengan kejam membunuh jenderal-jenderal. Namun, senyatanya Gerwani sangat berbeda dari citra yang diciptakan Orde Baru ini. Mereka memiliki agenda yang sangat humanis antara lain memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tuntutan akan kesetaran gaji buruh perempuan, pendidikan bagi perempuan, relasi yang adil antara suami dan istri, menolak poligami, menentang ‘jual-beli’ manusia, dll. Selepas tahun 1965, banyak anggota Gerwani diasingkan di penjara perempuan seperti dialami oleh Umi Sardjono atau diekskomunikasikan seperti S.K. Trimurti.
Sesungguhnya bukan hanya nama S.K. Trimurti dan Umi Sardjono yang tidak pernah disinggung (atau bila disinggung dituliskan dengan catatan moral yang sangat buruk), melainkan juga banyak tokoh laki-laki terutama yang beraliran komunis seperti Tan Malaka, D.N. Aidit, Musso, dll.
Ilmu Sejarah yang Androsentris
Saya memiliki hipotesis mengapa nama kedua tokoh perempuan di atas tidak disebutkan dalam sejarah yang dipelajari di pendidikan formal. Pertama, karena kedua tokoh perempuan ini diidentifikasi sebagai anggota gerakan kiri. Rezim Orde Baru ‘alergi’ terhadap gerakan kiri sebab dianggap dapat membahayakan kekuasaan yang mapan. Alasan pertama masih dibebani lagi dengan alasan kedua, yaitu ilmu sejarah yang cenderung androsentris[4]. Perempuan dianggap kurang penting dalam pencapaian keberhasilan politik-ekonomi suatu bangsa. Alasan pertama bisa kita telusuri lebih lanjut dalam literatur-literatur sejarah alternatif yang menguraikan hubungan politik rezim orde baru dengan gerakan kiri. Saya akan mengulas alasan yang kedua yaitu peminggiran perempuan dalam wacana ilmu pengetahuan dan filsafat.
Marginalisasi/peminggiran perempuan dalam ilmu pengetahuan dan filsafat sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Misalnya, Aristoteles, filsuf era Yunani Kuno memiliki pandangan yang ‘negatif’ terhadap perempuan. Ia mengatakan sifat perempuan sebagai ketidaksempurnaan alam. Di Abad Pertengahan, Thomas Aquinas menyatakan perempuan sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan.[5] Pandangan-pandangan demikian turut terinternalisasi dalam penulisan kajian-kajian ilmiah. Hal ini didukung juga oleh kondisi masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai warga negara nomor dua.
Tokoh-tokoh perempuan jarang dipotret sebagai tokoh mandiri yang dengan kekuatannya mempelopori sesuatu. Tokoh perempuan seringkali ditulis sebagai pelengkap, pendukung atau pembantu saja. Kita mungkin pernah mendengar ungkapan “Di balik laki-laki yang sukses ada wanita yang hebat”. Perempuan hanya ada di belakang laki-laki atau tokoh perempuan dituliskan karena ia adalah istri dari seorang tokoh terkemuka. Katakanlah, misalnya menuliskan S.K. Trimurti semata-mata karena ia merupakan istri Sayuti Melik dan Umi Sardjono karena ia adalah istri Soedisman (Tokoh Partai Komunis Indonesia). Padahal keberhasilan kedua tokoh perempuan ini bukan semata karena mereka adalah istri dari tokoh-tokoh besar bangsa.
Hal yang perlu kita ingat juga ialah bahwa penulisan sejarah seringkali merupakan representasi dari kepentingan penguasa. Konstruksi sejarah digunakan untuk mendukung kekuasaan yang mapan. Menyadari kekuatan konstruksi sejarah inilah rezim Orde Baru menentukan uraian sejarah yang baku dengan meminggirkan gerakan-gerakan kiri dan perempuan. Bagaimana mendobrak konstruksi sejarah yang demikian? Tuturan dari para korban perlu dimunculkan sebagai bahan untuk menyusun konstruksi sejarah alternatif. Sejarah bukan hanya cerita mengenai tokoh-tokoh besar, melainkan juga peristiwa orang-orang biasa dalam hidup sehari-hari. Sejarah bukan monopoli penguasa, tetapi juga milik semua orang tak peduli laki-laki atau perempuan.
Sumber Bacaan :
[1] Ruth Indiah Rahayu, “Adakah Perempuan Revolusioner dalam Sejarah Gerakan Kiri?” dalam Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula, XXXI dan “SK Trimurti, Srikandi Revolusi yang Tolak Kursi Menteri” dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/11/16/06300091/SK.Trimurti.Srikandi.Revolusi.yang.Tolak.Kursi. Menteri
[2] Ruth Indiah Rahayu, Op.Cit, XXXII
[3] http://historia.id/obituari/pembuka-jalan-gerakan-perempuan
[4] Androsentrisme merupakan pemahaman, ideologi, sistem yang mengutamakan laki-laki, tanpa memperhatikan peran perempuan.
[5] Simone de Beauvoir, Second Sex (judul terjemahan: Second Sex: Fakta dan Mitos), Toni B. Febriantono (Penerjemah), Pustaka Promethea, Surabaya, 2003, IX
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan