Kegilaan Hidup dalam Veronika Decide to Die

190 0

Dalam kehidupan manusia, realitas kematian merupakan hal yang niscaya. Kematian membawa orang kepada sebuah permenungan tentang makna hidup. Pandangan yang berbeda dalam merenungkan kematian akan membawa pada pemaknaan hidup yang berbeda pula.

Ada dua besar aliran pemikiran tentang kematian, yaitu ateisme dan teisme. Bagi ateisme kematian adalah akhir dari segalanya, sedangkan bagi teisme kematian merupakan jalan untuk kehidupan kekal. Kedua pemikiran tersebut tentunya memiliki dampak yang berbeda dalam memaknai hidup, bahkan dari satu pemikiran saja tentang kematian setiap orang akan berbeda dalam memaknai hidupnya.

Pemaknaan manusia akan hidupnya dikisahkan dengan berbeda oleh Paulo Choelo, dalam tokoh Veronika, di novelnya yang berjudul Veronika Decide to Die. Choelo sama sekali tidak memusingkan masalah teisme atau ateisme dalam memandang realitas hidup. Baginya, dengan atau tanpa tendensi beragama setiap orang berhak untuk memaknai hidupnya. Veronika sendiri, dalam novel ini, adalah seorang gadis yang cantik dan menarik, memiliki pekerjaaan tetap, dan sudah tidak tergantung pada orang tuanya. Akan tetapi, dikisahkan di awal, tanpa alasan yang cukup jelas dia memutusakan untuk mengakhiri hidupnya.

Biasanya kecenderunag bunuh diri diakibatkan oleh depresi yang berat atau menanggung rasa malu yang tak tertahankan. Veronika tidak demikian. Dia hanya tidak ingin kehilangan pesona masa mudanya, saat itu semua telah terlalui olehnya. Selain itu pengalaman dalam keluarga juga membuatnya tidak tertarik dengan kehidupan berkeluarga, dimana hanya penyesalan dan penderitaan yang ia tanggung di masa itu. Mungkin bagi banyak orang alasan itu merupakan alasan yang naif, karena tidak kebanyakan orang berpikiran semacam itu.

11 November 1997, Veronika memutuskan mati dengan menelan 4 bungkus pil tidur. Namun hal itu hanya membawanya di Rumah Sakit Jiwa Negeri Ljubljana, Slovenia, bernama Villete. Dr. Igor, selaku kepala rumah sakit itu, menyatakan pada Veronika bahwa ia akan mati dalam waktu satu minggu, karena pengaruh over dosis pil tidur merusak jantungnya. Pernyataan itu seharusnya mebuat Veronika senang, karena meskipun tertunda akhirnya keinginannya untuk mati akan terwujud seminggu lagi. Namun yang dia dapatkan justru kecemasan dan membuatnya berpikir ulang tentang hidupnya. Hasrat yang terpendam, keinginan dan idealismenya tercurah dalam kehidupannya di Villete selama satu minggu itu.

Related image

Menjalani kehidupan di Rumah Sakit Jiwa Veronika menjumpai beberapa orang normal yang enggan meninggalkan rumah sakit jiwa. Zedka, Mari dan anggota persaudaraan adalah orang normal di mata Veronika. Sebenarnya dr. Igor menyadari hal itu, namun karena besarnya biaya memasukan orang gila di Villete membuatnya membiarkan mereka tetap hidup di sana. Hal ini menandakan adanya realitas orang pengecut. Mereka berlari dan berlindung di tembok rumah sakit jiwa karena takut dengan rutinitas, dan takut akan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya. Tekanan akan hal itu menghantar pada bentuk depresi, kecemasan yang tidak wajar dan perilaku yang dikatakan menyimpang oleh orang kebanyakan. Ketika orang-orang yang demikian telah terlanjur masuk ke RSJ mereka merasa ‘bebas’ dan enggan untuk meninggalkan “kebeabasan” itu.

Namun Veronika bukan seperti mereka. Masuk ke Villete bukanlah tujuannya. Dia hanya terjebak karena bunuh diri yang gagal. Dia bukan seperti Zedka yang depresi karena kasih tak sampai. Dia juga bukan Mari yang mendapat shock panic karena merisaukan pekerjaan dan keluargaannya. Dia juga bukan seperti anggota persaudaraan yang berdiskusi dengan nyaman dan puas tanpa cemas dianggap aneh oleh masyarakat. Tapi dialah Veronika; orang yang ingin mengakhiri hidupnya.

Menjalani hari-hari di villete, Veronika banyak belajar dari pengalaman hidup Zedka dan Mari. Dari semua pembicaraan dengan Zedka dan Mari Veronika memutuskan untuk menikmati sisa hidupnya yang tak lama lagi. Mungkin kebanyakan orang larut dalam rutinitas dan tidak peduli untuk memberi hadiah pada dirinya. Itulah yang dialami Veronika sebelum ia mencoba bunuh diri. Kesadaran akan kematian sekali lagi membuat orang untuk memaknai ulang hidupnya.

Dalam kesadaran akan sisa hidupnya, Veronika berhasrat utuk bermain piano. Sebenarnya semasa kecil ia bercita-cita menjadi seorang pianis. Namun karena arahan lembut dari orang tuannya ia pun mengubur dalam-dalam impian itu. Keputusan untuk mengubur dalam-dalam impiannya menjebaknya dalam rutinitas membosankan dan mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata rutinitas yang biasa dialami manusia dapat membawa pada suatu titik penderitaan. Tersiksa oleh stagnansi hidup membuat beberapa orang menjadi gila dan beberapa orang memutuskan mati.

Selain untuk menyalurkan hasrat bermain piano, Veronika juga mengumbar hasratnya untuk merasakan orgasme, yang selama ini dianggapnya sebagai hal yang tabu dan memalukan. Dengan ditemani oleh Eduard, penderita skizofrenia yang menjadi pendengar setianya saat bermain piano, Veronika melampiaskan hasratnya untuk merasakan kenikmatan orgasme. Perasaan nikmat campur aneh ia rsakan setelah melampiaskan hasrat tersebut. Ia merasakan ‘kegilaan hidup’ yang terpendam selama ia masih berada di Luar Villete. Lebih dari itu ia tidak mempedulikan apa pun karena ia tahu hidupnya akan berakhir dan semua orang di Villete gila. Dia juga tidak begitu meresahkan Eduard karena dia berada di dalam dunianya sendiri. Hanya Mari yang mengetahui tindakan itu, namun tidak merisaukannya karena justru Mari-lah yang mengusulakan hal itu.

Baca juga : Prof. Dr. Frans Magnis Suseno : Saya masih optimis dengan Islam Indonesia

Hadirnya Veronika di Villete membawa pengaruh terhadap beberapa orang di sana. Zedka dan Mari akhirnya berhenti untuk bersembunyi di balik tembok RSJ dan mengawali kehidupan barunya. Sementara Veronika menemukan cinta dalam diri Eduard yang sebelumnya dia anggap sebagai penderita skizofrenia akut, tapi toh dia sama seperti Mari dan Zedka yang merasa aman di Villete. Veronika sendiri pun tidak jadi mati, karena keterangan dari dr. Igor merupakan suatu rekayasa untuk menguji tesisnya tentang penyembuhan orang gila. Dalam kehidupan manusia mengungkapkan ‘kegilaan’ merupakan hal yang penting. Kegilaan berarti bagaimana sesorang mewujudkan mimpi, menyalurkan hasrat dan bebas dalam menentukan hidup sendiri tanpa determinisme dari apa dan siapa pun.

Kiriman : Andreas Ardhatama W.  Penulis lepas, tinggal di Kediri. Email : andreas.gnr@gmail.com    


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *